Putusan Mahkamah Agung terhadap Dokter Bambang Suprapto amat janggal. Dokter bedah ini divonis 1,5 tahun penjara karena tak memiliki izin praktek di Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara (DKT) Madiun, Jawa Timur. Padahal Mahkamah Konstitusi telah menghapus hukuman penjara untuk pelanggaran izin praktek.
Dokter Bambang sebaiknya segera mengajukan peninjauan kembali atas putusan yang keliru itu. Majelis kasasi--diketuai Artidjo Alkostar dengan hakim anggota Surya Jaya dan Andi Samsan Nganro-bisa jadi salah menerapkan ketentuan undang-undang. Kekeliruan seperti ini merupakan salah satu alasan untuk menyampaikan permohonan peninjauan kembali.
Sang dokter terlibat dalam operasi tumor ganas atas Johanes Tri Handoko di Rumah Sakit DKT Madiun pada Oktober 2007. Setahun kemudian, pasien dioperasi untuk kedua kalinya di Surabaya dan tak lama kemudian meninggal. Keluarga pasien mempersoalkan operasi pertama di Madiun karena di tubuh korban ditemukan benang bekas jahitan. Kebetulan Dokter Bambang juga tidak memiliki izin praktek di rumah sakit itu.
Hakim Pengadilan Negeri Kota Madiun menyatakan Bambang terbukti melanggar Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Terdakwa dijerat dengan Pasal 76, yang mengatur hukuman bagi pelanggar izin praktek; dan Pasal 79, yang memuat pidana bagi pelanggar layanan kedokteran. Tapi, dalam putusan yang dibacakan pada 2011 ini, hakim membebaskan terdakwa dengan alasan pelanggaran itu bukanlah tindak pidana. Nah, di tingkat kasasi, Bambang divonis penjara pada Oktober 2013, tapi salinan putusannya baru didapat terdakwa belakangan ini.
Baik putusan pengadilan pertama maupun kasasi terlihat tidak selaras dengan hasil koreksi MK atas kedua pasal tersebut. Putusan MK diambil sekitar empat bulan sebelum Bambang menangani Johanes. Hakim konstitusi menghapus hukuman penjara maksimal 3 tahun dalam Pasal 76 dan hukuman kurungan 1 tahun pada Pasal 79. Tapi MK tidak menghilangkan hukuman denda masing-masing Rp 100 juta dan Rp 50 juta dalam dua pasal ini.
Hakim Pengadilan Negeri Kota Madiun semestinya tidak membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Ia dibebaskan dari ancaman penjara, tapi seharusnya tetap dihukum denda. Soalnya, dalam putusan itu hakim jelas menyatakan dakwaan jaksa terbukti. Misalnya, Bambang terbukti hanya dokter tamu di rumah sakit.
Mahkamah Agung pun mengoreksi putusan pengadilan negeri itu secara salah dengan memberikan hukuman pidana penjara. Majelis kasasi seharusnya memperhatikan putusan MK yang telah mengoreksi Pasal 76 dan 79. Amat memprihatinkan jika ternyata majelis kasasi tidak tahu sama sekali mengenai putusan uji materi itu.
Demi kepastian hukum, penerapan aturan yang keliru itu harus diluruskan. Kasus Bambang perlu diprioritaskan dalam proses peninjauan kembali. Jangan sampai terjadi putusan peninjauan kembali baru keluar setelah ia menjalani hukuman penjara.