Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak sepantasnya mendua. Jika dia memang tidak setuju penghapusan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, seharusnya sejak awal hal itu tecermin dalam sikap Partai Demokrat yang dipimpinnya. Sebagai kepala pemerintahan, dia bahkan bisa menarik Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang memuat aturan kontroversial itu.
Sikap tegas Presiden perlu ditunjukkan lantaran polemik mengenai RUU itu sudah berkepanjangan. Partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih-pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden lalu-tampak ngotot menginginkan penghapusan pilkada langsung untuk gubernur, bupati, dan wali kota. Mereka mendorong pemilihan lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Koalisi Merah Putih berdalih perubahan itu akan menghemat anggaran. Tapi, sulit dimungkiri, koalisi ini amat diuntungkan bila RUU Pilkada disahkan menjadi undang-undang. Kelak koalisi yang amat dominan di banyak DPRD ini akan "memiliki" banyak kepala daerah.
Adapun partai politik yang berada pada kubu pasangan terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla bersikap berbeda. Mereka menolak tegas penghapusan pilkada langsung. Sikap serupa juga diperlihatkan oleh para kepala daerah dan kalangan penyokong otonomi daerah. Mereka berargumen, demokrasi seharusnya tidak dinilai dengan uang.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dikhawatirkan pula akan memunculkan kartel politik yang mendikte kebijakan banyak daerah. Mekanisme ini juga rawan suap dan kongkalikong antara calon kepala daerah dan para anggota DPRD. Akibatnya, kepentingan rakyat akan diabaikan.
Pemerintah semestinya segera bersikap tegas dengan menarik lagi RUU itu. Tidak ada gunanya pembahasan RUU itu diteruskan karena akan sulit mencapai titik temu. Voting memang bisa dilakukan untuk mengambil keputusan. Masalahnya, tak ada keperluan mendesak untuk mengubah mekanisme pemilihan kepala daerah.
Sudah berkali-kali pemerintah mengevaluasi pemilihan langsung kepala daerah. Hasilnya, seperti yang tecermin dalam Naskah Akademik RUU Pilkada, hanya penghapusan pilkada langsung untuk gubernur yang direkomendasikan, dan bukan untuk bupati serta wali kota. Janggal bila Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi terkesan memaksakan pembahasan RUU itu oleh Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
Bila pemerintah menarik RUU itu, kita justru bisa mengevaluasi lagi pilkada secara lebih cermat. Betapa berbahaya bila keinginan ke arah sentralisasi itu dibiarkan. Kali ini soal pilkada langsung yang diperdebatkan, lain kali mungkin pemilihan presiden langsung yang digugat. Bukankah pemilihan presiden juga bisa dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat agar lebih praktis dan efisien?
Presiden Yudhoyono, yang cukup berhasil menjaga demokrasi selama 10 tahun memerintah, seharusnya tidak membiarkan republik ini kembali ke ala Orde Baru.