Badan Pemeriksa Keuangan bakal mudah bermetamorfosis menjadi alat politik, minimal lembaga berkinerja buruk, jika rekrutmen anggotanya terus berlangsung seperti sekarang. Bukan hanya tidak transparan, proses pemilihannya pun dipaksa berfokus menyeleksi daftar calon yang kurang bermutu.
Dua dari lima calon terpilih anggota pimpinan BPK kali ini bahkan merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat sendiri-lembaga yang berwenang menyeleksi sekaligus memilih pimpinan BPK. Mereka adalah Achsanul Qosasi asal Partai Demokrat dan Harry Azhar Azis yang merupakan politikus Partai Golkar.
Rumus lama kembali dipakai oleh Komisi Keuangan DPR dalam memilih anggota pimpinan BPK. Mereka seakan mengutamakan rekan-rekannya yang sedang mencari kursi jabatan. Kebetulan, baik Achsanul Qosasi maupun Harry Azhar gagal terpilih lagi sebagai anggota DPR karena kalah di daerah pemilihan masing-masing.
Hasil pemilihan anggota pimpinan BPK itu mengisyaratkan bagaimana watak kinerjanya kelak. Yang mudah terbayang: kalaupun para politikus itu tak terbukti tercela, dan meski ada kewajiban keluar dari partai, mereka tetap akan sulit menghindari tarik-menarik kepentingan, terutama yang datang dari partai asal mereka. Kedekatan pribadi saja berpeluang mengaburkan batas antara tugas sebagai pejabat publik dan sebagai kepanjangan partai, apalagi keterikatan struktural dan "ideologis".
Boleh saja ada yang berpendapat semua kekhawatiran itu hanya patut diuji dengan bukti: bahwa calon-calon itu mesti diberi kesempatan menunjukkan diri memang layak dipilih. Tapi menyerahkan keputusannya kepada DPR sudah sangat salah sejak awal. Benturan kepentingan dimulai justru dari sana.
Bolong-bolong dalam pemilihan anggota BPK itu merupakan akibat langsung dari ketentuan hukum mengenai cara pemilihannya. Berbeda dengan pengisian jabatan komisioner untuk Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, pemilihan anggota BPK dilakukan tanpa melalui panitia seleksi yang independen. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan mengatur bahwa pelaksana pemilihan sepenuhnya adalah DPR.
Dijalankannya ketentuan itu, ditambah pemungutan suara secara tertutup dalam penentuan akhirnya, menurut Indonesia Corruption Watch, telah menyebabkan kinerja BPK periode saat ini mengalami kemunduran. ICW menyebutkan bukti, antara lain, buruknya audit proyek fasilitas olahraga Hambalang dan berbagai audit di level daerah. Tentu saja, ini belum ditambah fakta bahwa Ketua BPK Hadi Poernomo terjerat kasus korupsi.
Agar kemunduran BPK bisa dihentikan, ketentuan ihwal pemilihan anggotanya dalam undang-undang mesti diubah. Begitu pula aturan pelaksanaannya. Usul yang wajib diadopsi adalah pembentukan panitia seleksi yang terlepas dari campur tangan siapa pun. Selain itu, patut dipertimbangkan pula pembagian komposisi keanggotaan secara tegas, yang terdiri atas politikus, pejabat karier, dan kalangan profesional, serta syarat kualifikasi sebagai auditor.