Sikap Pemerintah Kota Bogor yang melontarkan wacana sehari tanpa kendaraan pelat B amat janggal. Larangan itu tak didasari pertimbangan matang, dan malah bisa menjadi bumerang bagi Bogor.
Rencana yang pertama kali disampaikan Wakil Wali Kota Bogor Usmar Hariman itu bersandar pada argumen yang sangat dangkal. Hariman berang melihat kemacetan kerap terjadi di kotanya. Kekesalannya bertambah saat di akhir pekan banyak kendaraan berpelat B memadati kota yang memang menjadi tujuan tetirah warga Jakarta, Bekasi, atau Tangerang itu. Lalu muncullah ide kontroversial itu: melarang kendaraan dari luar masuk Kota Bogor.
Rencana pelarangan itu kontan menyulut berbagai protes. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama langsung berencana menemui Wali Kota Bogor Bima Arya. Wali Kota Bekasi juga ikut menyesalkan. Protes paling keras datang dari warga Bogor sendiri dan kalangan pengusaha Bogor. Pengurus Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia Cabang Kota Bogor khawatir wacana itu berpotensi membunuh pelan-pelan industri wisata di Bogor. Belakangan, ide Wakil Wali Kota Bogor itu dibantah sendiri oleh Wali Kota Bima Arya.
Wacana serupa sempat diusulkan kalangan Pemerintah Kota Bandung. Mereka kesal karena setiap akhir pekan kota Parijs van Java itu selalu disesaki mobil-mobil berpelat B. Bahkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil juga sempat menemui Wakil Gubernur DKI Jakarta untuk mencari solusi.
Pemerintah Kota Bogor ataupun Bandung seharusnya menyelami persoalan kemacetan dengan lebih jernih. Sumber kemacetan di dua kota itu berbeda. Di Bogor, penyebab utama kemacetan adalah jumlah angkutan kota (angkot) yang terus membengkak. Saking banyaknya, Bogor bahkan dijuluki "kota sejuta angkot". Kota sekecil itu memiliki 3.412 angkot plus 4.000 lainnya dari Kabupaten Bogor. Kemacetan diperparah lagi karena banyak warga Bogor yang memiliki kendaraan pelat B untuk bekerja di Jakarta atau wisatawan luar Bogor yang datang ke kota itu.
Keruwetan lalu lintas merupakan buah dari telatnya pemerintah daerah membangun sistem transportasi massal. Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi mengidap penyakit itu. Saban tahun, yang ada di pikiran pemerintah setempat hanya menambah angkot. Tak ada upaya sungguh-sungguh membangun transportasi publik massal seperti menyediakan bus pengumpan ke stasiun kereta atau bus ke Jakarta.
Mereka seharusnya meniru langkah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Risma menggandeng PT Kereta Api Indonesia membangun trem di dalam Kota Surabaya. Hebatnya, proyek sepanjang 17 kilometer itu tak memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, melainkan didanai oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero). Bandung menyusul dengan rencana membangun monorel.
Betapa gamblang solusi mengatasi kemacetan. Tidak selayaknya pemerintah daerah cuma menyalahkan mobil dari luar kota sebagai biang kemacetan. Mereka harus membangun sistem transportasi massal yang menjangkau seluruh sudut kota, bukan hanya memperbanyak angkot atau taksi. Jika hal ini tak dilakukan, kota-kota itu akan mengalami kemacetan yang semakin kronis.