Pemerintah semestinya lebih serius menangani kebakaran hutan yang menimbulkan pencemaran udara. Setelah meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, Indonesia akan dipantau oleh negara-negara tetangga dalam mengurus asap. Tindakan hukum terhadap para pembakar hutan seharusnya dilakukan lebih tegas.
Ratifikasi yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu itu merupakan langkah positif. Persetujuan ASEAN yang dikeluarkan pada 2002 tersebut sudah lama diratifikasi oleh negara-negara anggota organisasi ini, kecuali Indonesia, yang baru bersedia melakukannya sekarang. Malaysia dan Singapura, misalnya, telah meratifikasi persetujuan itu masing-masing pada 2002 dan 2003.
Sayangnya, kebijakan yang diambil oleh pemerintah bersama DPR tersebut tak segera diikuti tindakan nyata. Kebakaran hutan yang menebarkan asap hingga ke negara tetangga masih terjadi hingga sekarang. Penerbangan pun sempat terganggu gara-gara asap menyelimuti Kota Pekanbaru, beberapa waktu yang lalu. Bukan hanya Riau, asap juga menutupi wilayah Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat.
Kerugian akibat kebakaran yang melalap ribuan hektare hutan itu sangat besar. Di Riau saja, kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan mencapai Rp 20 triliun. Kebakaran juga mengakibatkan 58 ribu orang di provinsi itu terserang infeksi saluran pernapasan akut. Beberapa bulan yang lalu, sekolah-sekolah sampai diliburkan karena asap di Riau amat pekat.
Di wilayah Kalimantan dan Sulawesi, kebakaran serupa juga terjadi. Hingga pertengahan September lalu, setidaknya terdapat 19 ribu lebih titik api yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Diperkirakan luas hutan di Indonesia yang kini terbakar mencapai 7.927 hektare. Pemerintah seharusnya bisa mencegah kejadian yang berulang setiap tahun ini.
Kebakaran itu jelas bukan sebuah bencana, melainkan akibat ulah manusia, baik perorangan maupun korporasi. Lebih dari 90 persen kebakaran dipicu oleh pembakaran hutan dan lahan sebagai cara paling mudah serta murah untuk membuka lahan perkebunan. Jarang sekali kebakaran terjadi akibat faktor alam seperti gesekan ranting kering yang kemudian memercikkan api.
Para pembakar hutan tak pernah kapok lantaran mereka jarang ditindak tegas. Kalau ada yang diadili, mereka hanya divonis beberapa bulan penjara. Padahal perangkat hukum buat menjerat para pembakar hutan dan lahan telah tersedia. Ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Pembakar hutan, baik perorangan maupun perusahaan, dapat dihukum maksimal 10 tahun penjara dan didenda Rp 10-15 miliar.
Kini pemerintah harus lebih sungguh-sungguh mencegah kebakaran hutan dan menangani kasus pembakaran hutan. Ratifikasi atas Persetujuan tentang Pencemaran Asap bukan tanpa konsekuensi. Kelalaian terhadap masalah ini tentu akan mengundang protes keras dari negara-negara anggota ASEAN.