J. Sumardianta, Guru Sma Kolese De Britto, Yogyakarta
Ketika ibumu semakin tua. Saat sorot mata penuh cinta dan harapannya tidak lagi menatap seperti dulu. Kala kaki letihnya tidak bisa lagi menopang perjalanan, pinjamkan lenganmu buat memapah. Hiburlah dia. Temanilah berjalan-jalan untuk terakhir kali. Jika ibu meminta sesuatu, berikanlah. Akan datang waktu paling getir dalam hidupmu. Ketika mulut ibu tidak pernah meminta apa-apa lagi. Itulah saatmu menangis sejadi-jadinya."
Siapa sangka alegori ini ditulis Adolf Hitler. Sisi kemanusiaan sang diktator terbit kala kehilangan ibu. Bagaimana seorang penjahat kemanusiaan, penyebab tragedi bagi jutaan orang saat Perang Dunia II, memberikan tausiah cinta? Hitler mungkin menulis sajak itu jauh sebelum menjadi iblis.
Membaca ulang sajak Hitler, hati bagai dirajam sembilu. Ibu saya dipanggil Tuhan sehari menjelang perayaan Natal 2004 lalu. Proses berpulangnya terbilang mendadak. Pukul 16.00 sore ibu meminta diantar ke rumah sakit karena tidak enak badan. Naik-turun mobil dilakukannya sendiri. Sampai di IGD, sesak napas dan kejang. Pukul 17.45, ibu berpulang pada usia 72 tahun meninggalkan suami dan enam anak.
Sesederhana itu proses kematian ibu. Sesederhana cara pandang, sikap, dan perilaku almarhumah dalam mengatasi kerasnya hidup. Ibu anak tunggal dari istri kedua kakek. Kakek menikah empat kali. Saat ibu berumur sebulan, kakek menggorok tiang bambu penyangga rumah yang sekaligus berfungsi sebagai celengan nenek. Duit ludes buat berjudi.
Kakek minggat ke Jogja. Di alun-alun utara ia mendapati ratusan lelaki berseragam dinaikkan ke truk. Kakek ingin ikut rombongan. Sewaktu melapor, kakek langsung diberi seragam dan disuruh naik truk juga. Kakek baru menyesal saat iring-iringan truk memasuki Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Semua penumpang masuk kapal. Jepang hendak mempekerjakan mereka sebagai romusha di Borneo.
Pada 1945, tiga tahun sesudah menjalani romusha, kakek menikah lagi di Kalimantan. Kakek lalu pindah ke Deli Serdang, Sumatera Utara, bersama tiga anak lelaki dari istri keempat. Pada 1960-an kakek mengubah hutan menjadi area persawahan di Lampung Tengah. Di sinilah hidupnya mulai membaik.
Teringat anak yang ditelantarkannya, kakek baru pulang ke Jawa pada 1970-an. Bapak-anak bertemu lagi setelah berpisah tiga dekade. Elegi mengharukan seorang penyintas (survivor) romusha. Kakek diganjar romusha gara-gara menganut falsafah mo limo: main/judi, mendem/mabuk, madon/kawin-mawin, madat/narkoba, dan maling/mencuri.
Pada masa muda, tahun 1960-an, ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga Cina di Jakarta. Di bilangan Cikini, ibu menyaksikan seorang perempuan hamil, sedang menggendong kedua anaknya, mati tertembak peluru nyasar pengikut Karto Suwiryo. Bedil sebenarnya diarahkan pada Bung Karno, yang tengah berpidato peresmian gedung sekolah.
Dalam kesulitan, memberi pertolongan. Itulah yang dilakukan kedua orang tua saya saat masih bekerja di kota. Di rumah kami yang sempit, bapak-ibu mau memberi tumpangan buat kerabat pengidap kanker rahim saat menjalani terapi di rumah sakit. Rumah kami terbuka bagi kerabat dari kampung yang transit untuk kuliah atau kerja. Waktu itu, saya tidak habis pikir mengapa rumah yang sudah sesak dengan rupa-rupa impitan ini masih dijejali kenestapaan akibat kemurahan hati orang tua.