Agus Dermawan T, Pengamat Budaya Dan Seni
Karikatur tentang Nabi Muhammad SAW yang dimuat di majalah Charlie Hebdo (CH) di Paris menimbulkan dendam. Rasa sakit hati itu terkumpul menjadi kemarahan brutal yang berbentuk pembunuhan atas 12 awak redaksi CH, 7 Januari lalu. Peradaban kemanusiaan mengutuk aksi teror yang berdarah-darah dan penuh murka. Sebaliknya, peradaban kebudayaan akan menyampahkan karikatur yang rendah etika sosialnya.
Kekeliruan besar karikatur CH bisa ditelaah dari dua persoalan yang mendasar. Pertama adalah pelanggaran moral yang dilakukan oleh editor dan seniman sembrono: yang tak punya rasa hormat serta tidak memiliki sensibilitas atas dogma agama. Kedua, menyangkut akar seni karikatur, yang tampaknya tidak dipahami oleh para karikaturis di majalah satire itu. Artikel ini membahas persoalan kedua.
Karikatur adalah seni rupa yang dibuat dengan tujuan menyindir atau mengkritik, dengan memakai wajah seseorang yang berkaitan dengan konteks. Untuk menajamkan persoalan, wajah seseorang itu dideformasi sedemikian rupa sehingga menjadi ganjil. Keunikan ini oleh para karikaturis diformulasi menjadi lucu, karena kelucuan dianggap pintu masuk untuk mencari perhatian.
Deformasi (bahkan distorsi) wajah dalam karikatur adalah ciri utama dari seni karikatur. Etimologi akan menjelaskan hal itu. Karikatur atau?caricature (Inggris), caricatuur (Belanda), karikatur (Jerman) bermula dari kata Italia, caricare, yang artinya memberikan muatan (kepada wajah seseorang). Ini ada hubungannya dengan kata caratere (Itali) untuk character (Inggris).
Dalam bahasa rupa, upaya meng-caricare, atau memberi muatan, diwujudkan dengan mengubah dan melebih-lebihkan bentuk wajah seseorang yang digambarkan di situ. Namun gambar harus tetap menghadirkan karakter tokoh yang dikarikaturkan. Kesimpulannya, lahirnya karikatur harus bersumber dari wajah yang jelas-jelas pernah dilihat (langsung atau tak langsung) oleh para karikaturisnya, dan didalami karakternya.
Di sisi lain dipahami bahwa keindahan karikatur bergantung pada iktikadnya. Iktikad itu adalah upaya untuk membuat perubahan: dari yang buruk menjadi baik. Dengan begitu, keindahan sebuah karikatur terpancar lewat kualitas moral yang tergambar.
Menyentuh karikatur di CH (termasuk karikatur di majalah Denmark, Jyllands-Posten, yang bikin heboh pada 2005), adakah para karikaturis itu pernah melihat wajah Nabi Muhammad? Sangat diyakini: tidak. Dengan begitu, sederet karikatur tersebut cuma hasil imajinasi karikaturisnya.
Dalam pemahaman etimologis, karikatur demikian dikategorikan sebagai gambar yang berbohong. Sementara itu, ditilik dari kualitas moralnya, karikatur itu jelas tidak menawarkan apa-apa, kecuali untuk mengganggu dan memprovokasi lewat gambar-gambar reka-simbolis belaka.
Akhirul kalam, biasanya seni yang menyimpan kebohongan sangat tidak dipedulikan, karena tidak mempunyai kekuatan kebudayaan apa-apa. Dan seni yang tidak menawarkan keindahan moral akan terkategori sebagai sepah, dan akan dibuang ke keranjang sampah. Dengan begitu, sesungguhnya majalah serta karikatur CH akan terkubur dengan sendirinya, tanpa perlu dilawan dengan amuk dar-der-dor.