Demokrasi mundur belasan tahun setelah politikus Senayan memutuskan kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mereka telah merampas hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya. Kekuasaan partai politik yang selama ini dikenal korup semakin dominan.
Perubahan cara memilih kepala daerah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang telah disahkan. Opsi pemilihan lewat DPRD disokong oleh 226 anggota DPR. Mereka sebagian besar berasal dari Koalisi Merah Putih, yang dalam pemilihan presiden lalu mengusung Prabowo Subianto. Adapun opsi pemilihan langsung hanya didukung oleh 125 anggota DPR, yang sebagian besar merupakan pendukung presiden terpilih Joko Widodo.
Kekalahan kubu Jokowi itu tak lepas dari manuver tak elok yang dilakukan Partai Demokrat, pemilik 148 kursi di parlemen. Mereka mengusulkan hal yang mustahil, yakni pemilihan langsung dengan banyak sekali syarat. Demokrat seolah ingin dianggap sebagai penyokong pemilihan langsung. Tapi langkah mereka yang memilih walk-out justru menggarisbawahi sikap Demokrat sebenarnya, yakni memberi jalan bagi pemilihan lewat DPRD.
Demokrat memainkan politik bermuka dua karena sejatinya menyimpan agenda tersendiri. Jika serius mempertahankan pilkada langsung seperti selalu digembar-gemborkan sebelumnya, mereka semestinya tetap ada di dalam ruangan.
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden maupun Ketua Umum Demokrat telah membiarkan negara ini kembali ke demokrasi ala Orde Baru. Pemilihan kepala daerah lewat DPRD pernah dilakukan di negeri ini selama 32 tahun rezim Orde Baru. Saat itu rakyat tinggal terima jadi siapa pun dan orang macam apa pun yang dipilih oleh wakil rakyat untuk memimpin mereka. Cara ini terbukti membuat orientasi kerja kepala daerah bukan melayani kepentingan rakyat, melainkan terus berusaha mengamankan jabatan.
Para kepala daerah hanya melayani kepentingan anggota DPRD. Hal itu dilakukan bahkan sejak tahap awal pemilihan. Dalam babak ini, para calon mengerahkan sumber daya untuk mengambil hati anggota DPRD. Dan ketika terpilih, posisinya menjadi inferior di hadapan anggota Dewan. Bahaya semacam itulah yang kini (kembali) dihadapi bangsa ini ke depan.
Dominasi partai politik dalam kehidupan bernegara juga membuka ancaman lain. Institusi yang semestinya menjadi kawah candradimuka lahirnya pemimpin itu nyatanya korup dan tak memiliki kepercayaan di mata masyarakat. Data yang mengungkapkan adanya 3.169 anggota DPRD tersangkut kasus korupsi sepanjang 2005-2014 membuktikan kebenaran anggapan itu.
Itu sebabnya, rencana berbagai elemen masyarakat untuk membawa Undang-Undang Pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi pantas didukung. Selebihnya, tinggal berharap para hakim konstitusi di lembaga terhormat itu mampu menyelami suara rakyat. Pemilihan kepala daerah secara langsung adalah salah satu amanat reformasi, dan karena itu layak dipertahankan.