Pemerintah mesti berhati-hati mengalokasikan anggaran ganti rugi buat korban lumpur Lapindo di dalam peta area yang terkena dampak. Tak sepantasnya pemerintah mengambil alih beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga Bakrie. Tapi, kalau sekadar memberikan dana talangan, bisa saja hal itu dilakukan.
Sikap pemerintah benar-benar diuji setelah proses penyelesaian ganti rugi korban Lapindo terasa bertele-tele. Lahan penduduk yang belum dilunasi sekitar 20 persen dari 640 hektare area yang terkena dampak semburan lumpur. Nilai ganti rugi yang mencapai Rp 781 miliar itu seharusnya diselesaikan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Pemerintah selama ini hanya memberikan ganti rugi bagi korban di luar peta dampak.
Karena PT Minarak Lapindo tak segera melunasi ganti rugi tersebut, muncul usul agar pemerintah turun tangan. Saran itu juga muncul dalam rapat koordinasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, serta Pemerintah Kota Sidoarjo baru-baru ini.
Ketua Dewan Pengarah BPLS, Djoko Kirmanto, menyebutkan dua opsi yang diusulkan kepada pemerintah. Pertama, pemerintah memberikan dana talangan kepada PT Minarak Lapindo untuk mengganti kerugian masyarakat Sidoarjo yang berada di dalam peta area dampak yang belum dibayar. Kedua, pemerintah menanggung penuh sisa ganti rugi tersebut. Jika opsi terakhir yang dipilih, hal itu akan membebani anggaran negara. Selama ini negara telah mengucurkan Rp 8,4 triliun untuk mengatasi dampak semburan sejak 2007.
Itulah pentingnya sikap Menteri Keuangan Chatib Bisri. Sejauh ini ia menolak opsi pemberian ganti rugi oleh pemerintah, dengan alasan putusan Mahkamah Konstitusi tidak mewajibkannya. Putusan MK beberapa waktu yang lalu memang hanya bisa dimaknai: pemerintah mesti memastikan korban Lapindo di luar area terkena dampak mendapatkan ganti rugi. Putusan itu untuk memenuhi permohonan korban di dalam peta area dampak lumpur Lapindo yang merasa diperlakukan tak adil. Soalnya, para korban di luar area terkena dampak justru telah mendapatkan ganti rugi karena ditangani langsung oleh pemerintah.
Dengan kata lain, pemerintah cukup mendesak keluarga Bakrie, yang bertanggung jawab melunasi ganti rugi bagi korban di dalam peta dampak lumpur. Sebagai pemilik PT Lapindo Brantas-perusahaan minyak dan gas yang memicu semburan lumpur di Sidoarjo- keluarga ini semestinya tidak lari dari tanggung jawab. Tapi, kalau keluarga Bakrie benar-benar belum bisa membayarnya, pemerintah boleh saja menalanginya seperti yang diusulkan dalam rapat koordinasi BPLS dengan sejumlah kementerian.
Opsi memberikan dana talangan itu harus disertai kesanggupan tertulis dari keluarga Bakrie untuk mengganti dana talangan dalam jangka waktu tertentu. Dengan cara ini, korban lumpur Lapindo tidak terkatung-katung.