Manuver politik Koalisi Merah Putih sangat mungkin bakal kian menjadi-jadi setelah uji materi Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pimpinan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Penolakan itu berimplikasi luas. Dengan leluasa, kubu pendukung Prabowo Subianto ini, misalnya, bisa mendudukkan calon pilihannya sebagai Ketua DPR dan MPR. Ini artinya, mereka punya kekuatan di parlemen untuk menyandera pemerintah.
Salah satu gugatan yang ditolak MK adalah Pasal 84, yang antara lain memuat tentang pimpinan DPR yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berkeberatan atas pasal tersebut karena mereka merasa hak konstitusionalnya dirugikan. Selama ini partai pemenang pemilu otomatis menjadi Ketua DPR.
Diberlakukannya pasal itu jelas mementahkan peluang PDIP. Mereka berharap MK mengabulkan keberatan tersebut. Tapi Mahkamah menolak keberatan itu. Inilah pukulan telak kedua bagi partai-partai pendukung presiden terpilih Joko Widodo. Sebelumnya, mereka kalah voting dalam rapat paripurna yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
Publik memang mengecam keras DPR yang mengesahkan pemilihan tak langsung dan memangkas hak demokrasi rakyat itu. Namun, tanpa memperkuat lobi-lobi di DPR, kubu ini akan kembali menelan kekalahan pahit. Bisa dihitung, misalnya, gabungan suara dukungan untuk Koalisi Merah Putih-terdiri atas Partai Gerindra, Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan-di DPR periode mendatang mencapai 291 kursi.
Ditambah Demokrat sebanyak 61 kursi, persekongkolan partai-partai itu akan mengempaskan PDIP, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Hanura, yang hanya memiliki sekitar 208 kursi. Akibat yang tampak sangat jelas: Koalisi akan menguasai sejumlah pimpinan di DPR, MPR, maupun alat kelengkapannya. Mereka, sekalipun tak mudah, juga bisa kembali menggulirkan pemilihan presiden oleh MPR seperti di zaman Orde Baru dengan mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Lebih fatal dari itu, mereka tak akan sulit mengganjal setiap program pemerintah Jokowi. Anggaran pembangunan pun bisa mereka otak-atik seenaknya. Dengan kekuatan seperti itu, Koalisi tak pelak bisa berubah menjelma menjadi monster demokrasi. Tak hanya berperan sebagai kekuatan penyeimbang sebagaimana mereka citrakan selama ini, mereka lebih jauh lagi akan bergerak sebagai penyandera pemerintahan. Kartel politik yang mereka bangun bahkan bisa menentukan siapa saja pengendali proyek-proyek politik dan ekonomi selama lima tahun ke depan.
Situasi tersebut jelas sangat mencemaskan. Apalagi sejumlah nama yang diajukan sebagai pimpinan Dewan periode mendatang ternyata pernah tersangkut kasus hukum. Munculnya nama-nama bermasalah tersebut jelas kian memperpanjang daftar citra buruk Dewan yang selama ini mereka sandang. Bisa dibayangkan, Komisi Pemberantasan Korupsi akan luar biasa repot membendung korupsi para politikus lancung itu.