Terjeratnya Gubernur Riau Annas Maamun dalam kasus korupsi bukanlah bukti kegagalan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Kasus ini justru menunjukkan ketidakmampuan partai politik menjaga integritas kadernya.
Kaitan antara pejabat korup dan pilkada langsung perlu dilihat lebih jernih lantaran kerap digunakan sebagai argumen untuk menampik mekanisme demokrasi ini. Dalih itu pula yang diusung oleh sebagian besar anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menyokong pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Mekanisme baru itu dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, yang belum lama ini disahkan.
Annas bukanlah figur yang sejak awal berkarier di jalur politik. Ia pernah menjadi guru dan birokrat di daerah. Tapi, harus diakui, ia kemudian diorbitkan oleh Partai Golkar. Annas dipercaya sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Bengkalis pada 1997. Ia kemudian dua kali terpilih menjadi Bupati Rokan Hilir sebelum akhirnya menjadi Gubernur Riau.
Golkar berhasil menempatkan kadernya sebagai bupati dan gubernur, tapi gagal menjauhkan dia dari korupsi. Idealnya, mekanisme pilkada langsung bisa mencegah figur seperti Annas tampil menjadi gubernur. Tapi publik sulit disalahkan bila partai-partai tidak menyodorkan kadernya yang berintegritas, atau jika pilihannya amat terbatas.
Partai Golkar seharusnya mengawasi sepak terjang kadernya karena akan mempengaruhi citra partai ini. Sungguh nista perbuatan Annas, yang selama ini malang-melintang di dunia birokrasi dan politik di daerahnya. Ia ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saat menerima suap Rp 2 miliar yang diduga berkaitan dengan perizinan alih fungsi hutan.
Selama ini Annas juga terkesan dibiarkan membangun dinasti politik di Riau. Ia mengangkat anak, menantu, dan kerabatnya untuk sejumlah jabatan penting. Putri Annas, Fitriana, diangkat menjadi Kepala Seksi Mutasi dan Non-Mutasi Badan Kepegawaian Daerah. Winda Desrina, anak kesembilan, dilantik menjadi Kepala Seksi Penerimaan Dinas Pendapatan Daerah. Noor Charis Putra, anak lelaki Annas yang baru berumur 27 tahun, dilantik menjadi Kepala Seksi Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan Umum.
Menguatnya nepotisme politik biasanya diikuti bancakan sumber daya ekonomi daerah yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat banyak. Korupsi merajalela karena peluang untuk menyimpangkan anggaran kian menganga. Sebelum menangkap Annas, misalnya, KPK juga membongkar kebobrokan dinasti politik Gubernur Atut Chosiyah di Banten.
Kebetulan, baik Annas maupun Atut adalah kader Partai Golkar. Sulit membayangkan figur seperti mereka tak muncul lagi setelah mekanisme pemilihan kepala daerah diubah. Politik dinasti dan nepotisme justru akan semakin menjadi-jadi setelah rakyat tidak bisa menentukan pemimpinnya. Tiada peluang bagi rakyat untuk mengoreksi bila partai politik keliru memilih kepala daerah.