Pembatasan investasi asing dalam Undang-Undang Perkebunan yang disahkan pada pekan lalu patut dipertanyakan. Aturan itu justru bertabrakan dengan kebijakan pemerintah yang ingin menarik investor asing.
Komisi Pertanian DPR, yang mengusung ide pembatasan modal asing, sudah menjelaskan alasannya. Namun argumennya terasa tidak logis. Misalnya, dalam era perdagangan bebas yang sudah di depan mata, mereka mengusulkan agar kepemilikan asing di sektor perkebunan dibatasi maksimal 30 persen. Alasan mereka adalah untuk melindungi pengusaha dalam negeri.
Semangat proteksi membabi-buta seperti itu hanya akan merugikan negeri ini. Faktanya, pemerintah pontang-panting membujuk investor asing agar mau menyuntikkan modal ke Indonesia. Iklim investasi di negara ini juga dianggap lebih buruk ketimbang di beberapa negara jiran, seperti Cina, Singapura, dan Malaysia. Aturan baru itu bisa menggagalkan rencana pemerintah mengundang investor asing.
Seharusnya DPR mencari cara agar modal asing berlomba-lomba masuk ke Indonesia. Kita tak perlu alergi terhadap modal asing. Toh, tanpa beleid itu pun, pasar bebas sebenarnya sudah di depan mata. Tahun depan adalah era pasar terbuka, dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Undang-Undang Perkebunan yang baru ini bisa membuat Indonesia dicap tidak konsisten. Dalam berbagai roadshow di luar negeri, pemerintah selalu gembar-gembor mengundang investor. Tapi upaya itu justru tersandung undang-undang yang mencekik keran modal asing. Karena itu, usulan tersebut ditolak pemerintah.
Memang, Indonesia berkepentingan melindungi pengusaha nasional. Tapi masih banyak cara proteksi yang lebih elegan dan dilakukan dengan selektif. Ide Menteri Pertanian Suswono ihwal besaran pembatasan modal asing yang tak harus disebut dalam undang-undang patut didukung. Pemerintah bisa memberi perlakuan yang berbeda di setiap komoditas perkebunan, misalnya usaha perkebunan kelapa sawit berbeda dengan perkebunan kopi. Patut disyukuri usulan pemerintah ini akhirnya diterima DPR.
Rampungnya pembahasan UU Perkebunan ini tak berarti pekerjaan DPR dan pemerintah telah selesai. Hal yang lebih krusial adalah mengawal pelaksanaannya. Selama ini, itulah titik lemah di negeri kita.
Dalam UU Perkebunan yang baru, contohnya, ada kewajiban pelaku usaha mengalokasikan minimal 30 persen dari total lahan usaha mereka untuk kebun rakyat. Pertimbangannya adalah, menurut DPR, aturan ini untuk memberantas pengusaha nakal yang ingin mencaplok lahan kebun rakyat.
Ketentuan tersebut, yang merupakan revisi atas kebijakan sebelumnya, harus didukung. Ini merupakan sebuah kemajuan. Selama ini pengusaha cuma diwajibkan menyediakan 20 persen dari total lahan yang dimiliki. Akibatnya, terjadi ketimpangan dengan petani. Masalahnya, apakah pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mengawasi aturan itu.
Selama ini aturan itu tak sungguh-sungguh ditegakkan. Tidak ada evaluasi. Tak ada pula sanksi dari pemerintah bila pengusaha mangkir dari kewajibannya. Sikap tegas pemerintah amat diperlukan untuk memberantas pengusaha nakal.