Seno Gumira Ajidarma
Wartawan Panajournal.com
Banyak yang bisa dicatat dari pembantaian para kartunis media satire Charlie Hebdo pada Rabu, 7 Januari 2015, di Paris. Berikut ini hanyalah sebagian.
Pertama, pembantaian itu dikutuk, dan tiada perdebatan dalam perkara itu, karena keberatan apa pun terhadap kartun mana pun, tidak dapat dibenarkan berbentuk pembunuhan-kecuali, tentunya, oleh para pelaku dan pendukung di belakangnya selama ini.
Kedua, pembuatan kartun adalah representasi kebebasan berekspresi-dalam hal ini jelas perlu banyak diskusi. Istilah satire, misalnya, sewaktu SMP saya harus menghafalkannya sebagai "sindiran", tanpa menyebut sama sekali soal humor. Betapapun, istilah sindiran itu lebih dari cukup untuk menjelaskan perkara kritik terhadap sasaran yang tidak langsung, seperti ungkapan "ngomongnya begini, maksudnya begitu". Apakah ini berarti serangan langsung, bukan sindiran lagi, mengubah ke-satire-annya, karena memang tiada seni dalam humornya?
Dalam teks akademik, satire ternyata disebut selalu subversif atau menantang, dan tujuan satiric sering dikomunikasikan dengan lebih mudah secara visual. Jika hal ini dinyatakan dengan menunjuk kartun William Hogarth (1697-1764), di depan dunia sekarang terdapatlah kartun-kartun Charlie Hebdo. Ini mengingatkan kepada catatan bahwa pemikir komedi kuna seperti Lucian (120-180) membela, bahkan, menganggap perlunya parrhesia alias bicara lurus, dalam lingkungan korup.
Nah, jika media Charlie Hebdo ternyatakan sebagai media ekstrem kiri yang anti-otoritas, termasuk di dalamnya anti-agama, bolehkah disebutkan bahwa media semacam itu justru dilahirkan oleh iklim kekuasaan-termasuk kuasa agama-yang korup?
Disebutkan, satire dapat dilihat sebagai humor yang melayani tujuan etis. Bahkan, salah satu tujuan humor adalah penataan kembali. Masalahnya, sejak jauh hari telah dibicarakan perbedaan antara khalayak (societies) dan kelompok-kelompok yang berada di dalamnya (subgroups), tempat apa yang disepakati sebagai tabu, dan apa yang boleh menjadi bulan-bulanan humor, sangat bervariasi. Banyak yang akan sangat mendesak, bahwa referensi apa pun terhadap agama mana pun tidak dapat diterima (Condren dalam Attardo, 2014: 662).
Adapun teori-teori konflik, atau disebut juga teori-teori kritis, memandang humor sebagai ungkapan konflik, perjuangan, dan antagonisme. Berlawanan dengan teori-teori fungsionalis, humor tidak ditafsirkan sebagai "lubang angin" (katarsis-sga), yang bermakna penghindaran, melainkan ekspresi atau korelasi konflik sosial: humor sebagai senjata, bentuk serangan, dan cara bertahan. Konsep humor sebagai agresor tak pernah hilang dari teori humor klasik maupun kontemporer.
Dalam Power dan Paton (1988) terdapat banyak contoh pendekatan konflik, terutama analisis humor etnik dan politis, dengan hasil: humor mempunyai sasaran yang jelas, serta berkorelasi dengan konflik dan antagonisme kelompok. Mereka yang memegang kendali dapat menggunakan humor untuk mengolah kuasa; tapi mereka yang kedudukannya kurang berdaya akan menggunakannya untuk mengungkap perlawanan. Keberadaan humor yang beredar, maju-mundur atau naik-turun, akan mendukung atau melawan kekuasaan sesuai dengan situasi politiknya. Namun teori konflik tidak dapat bekerja untuk semua jenis humor (Kuipers dalam ibid., h. 711-2).
Dengan begitu, atas nama perjuangan ideologis, terdapat suatu pertimbangan dan keputusan etis. Berada di pihak kelompok dominan atau kelompok terbawahkan, serangan dengan humor sebagai senjata, merupakan pilihan berkesadaran (baca: mengetahui dengan baik risiko pilihannya).
Sampai di sini, apakah pertimbangan dan keputusannya cukup sahih dengan hanya berlindung di bawah payung "kebebasan berekspresi"? Dalam wacana tentang kebebasan dan tanggung jawabnya, terdapat formasi diskursif perihal kebebasan sosial dan kebebasan eksistensial.
Dalam kebebasan sosial, sebagai prasyarat kebebasan eksistensial, seberapa jelaskah batas boleh dan tidak boleh, oleh dan untuk khalayak, telah dinyatakan, diketahui, dan disepakati?
Percepatan perubahan masa kini adalah masalah dalam konsensus sosial. Dalam kebebasan eksistensial, segala pemanfaatan ruang kebebasan sosial itu, berdasarkan pilihan berkesadaran, hanyalah sahih atau dapat dibenarkan sejauh bisa dipertanggungjawabkan. Konsekuensinya, semakin bertanggung jawab, seseorang itu semakin bebas (Magnis-Suseno, 1987: 33-43).
Sebaliknya, semakin kurang atau sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan tindakan seseorang atau kelompok, semakin kurang atau tidak dapat dibenarkanlah kebebasannya itu. Kiranya ini berlaku bagi siapa pun, yang ingin membunuh ataupun melucu. l