TEMPO.CO, Jakarta - Helen Clark, Mantan Perdana Menteri Selandia Baru, Administrator Program Pembangunan PBB (UNDP)
Ketika topan Hagupit melanda Filipina pada 6 Desember 2014, masih segar dalam ingatan orang akan topan Haiyan, yang sebelumnya menewaskan lebih dari 6.300 orang. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, 227 ribu keluarga-lebih dari sejuta orang-berhasil dievakuasi sebelum Hagupit tiba-yang kemudian menewaskan tidak lebih dari 30 orang. Semua korban bencana merupakan tragedi, tapi fakta bahwa sedikitnya jumlah korban ini menunjukkan upaya yang telah dilakukan Filipina dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana alam seperti ini.
Sebagai Administrator Program Pembangunan PBB, saya telah menyaksikan sendiri keporak-porandaan dan kesedihan akibat bencana-bencana yang terjadi di seantero dunia. Sejak awal abad ini, lebih dari sejuta orang tewas akibat badai seperti Hagupit dan bencana-bencana besar lainnya, seperti gempa bumi di Haiti pada 2010 yang menimbulkan kerusakan ekonomi senilai hampir US$ 2 triliun.
Kerugian-kerugian ini tragis, tapi kerugian itu juga bisa dihindarkan. Ini merupakan peringatan bahwa kesiapan menghadapi bencana alam bukan suatu pilihan kemewahan. Ini merupakan suatu proses yang intensif dan konstan yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan nyawa manusia, melindungi infrastruktur, dan menjaga hasil pembangunan.
Argumentasi perlunya investasi dalam mempersiapkan diri menghadapi bencana itu sebenarnya sederhana. Jika suatu negara sadar bakal mengalami bencana alam seperti badai atau gempa bumi yang besar, investasi berupa waktu dan sumber daya yang dicurahkan dalam mempersiapkan diri terhadap kejutan-kejutan yang akan terjadi itu bakal menyelamatkan nyawa dan melindungi masyarakat dari kerugian-kerugian lainnya.
Sayangnya, pemerintah di banyak negara sering menempatkan prioritas yang berbeda dalam persiapan menghadapi bencana alam. Investasi di bidang-bidang lainnya sering lebih didahulukan, sementara lembaga-lembaga donor secara historis lebih siap menyumbang pada upaya darurat membantu para korban ketimbang upaya pra-bencana yang perlu dilakukan. Langkah-langkah yang dilaksanakan sifatnya cenderung terpisah-pisah, bukan bagian dari suatu rencana mengurangi risiko yang sistematis.
Semua ini perlu diubah. Negara-negara seperti Filipina menunjukkan manfaat mempersiapkan diri, terutama dilakukan sebagai bagian dari suatu upaya mengurangi risiko yang lebih besar. Topan Hagupit merupakan peristiwa paling akhir untuk menunjukkan semua ini.
Respons yang cepat dan efektif pemerintah Filipina telah menyelamatkan nyawa banyak orang. Tapi penting dicatat bahwa upayanya ini bukan semata-mata reaksi seketika dalam menghadapi badai yang akan tiba. Ini merupakan upaya nasional yang komprehensif yang telah lama dipersiapkan. Para pejabat Filipina dengan bijaksana mengakui kerentanan negeri mereka dan mencurahkan sumber daya serta modal yang diperlukan untuk membangun ketahanan menghadapi bencana.
Persiapan diri Filipina ini sebagai satu komponen inti dalam keseluruhan strategi mengurangi risiko bencana. Selama dekade yang lalu, pejabat-pejabat negeri itu telah meningkatkan kesadaran masyarakat, menerapkan dan memperkuat lembaga-lembaga manajemen bencana, serta melakukan upaya pemulihan sarana-sarana yang rusak akibat bencana-bencana yang lalu, termasuk topan Haiyan. Rencana-rencana menghadapi bencana nasional dan lokal telah ditingkatkan, prosedur operasi standar telah dikembangkan, dan sistem peringatan dini telah dioperasikan. Hasil akhirnya tidak kurang dari suatu transformasi bagaimana Filipina bakal bereaksi terhadap terjadinya bencana di kemudian hari.
UNDP, serta sistem-sistem pembangunan PBB yang lebih luas, mendukung pemerintah-pemerintah meletakkan tekanan yang lebih besar pada upaya mengurangi risiko bencana, termasuk kesiapan menghadapi bencana, dan memperkuat kapasitas kelembagaan merencanakan dan bertindak ketika diperlukan.
Di samping bantuan darurat, masyarakat internasional juga perlu membantu terbentuknya prosedur dasar merespons bencana jauh sebelum tibanya bencana itu. Mereka-lah yang pertama kali harus merespons, misalnya, perlu pelatihan dan peralatan. Bangunan-bangunan pengungsian darurat dan rute-rute evakuasi harus direncanakan serta ditetapkan sesuai dengan perkiraan risiko dan simulasi sebenarnya. Jika masyarakat hendak diharapkan memanfaatkan sumber daya yang ada, mereka perlu dilibatkan dalam perancangan dan pengembangan rencana darurat. Pengurangan risiko, termasuk kesiapan terutama, juga penting tercantum dalam tata kelola yang responsif.
Pada Maret 2015, suatu kerangka global baru bakal disepakati di Sendai, Jepang. Para delegasi diharapkan mendorong transformasi yang memungkinkan kesiapan diri dalam menyelamatkan nyawa manusia. Lagi pula, pengurangan risiko perlu menjadi bagian integral dari strategi pembangunan yang berkelanjutan. Filipina bisa menjadi contoh. l