TEMPO.CO, Jakarta - Abdul Salam Taba, Alumnus School of Economics The University of Newcastle, Australia
Penetapan tarif batas bawah tiket pesawat minimal 40 persen dari tarif batas atas dan penghapusan tarif promo murah telah menimbulkan pro-kontra. Pemerintah sebagai pihak yang pro beranggapan kebijakan hal itu sudah tepat. Sebab, tidak hanya menjamin keselamatan penumpang, tapi juga menjaga kelangsungan industri penerbangan nasional.
Sebaliknya, yang kontra menilai aturan itu hanya merugikan maskapai berbiaya murah (low cost carrier/LCC) dan menguntungkan penerbangan berbasis layanan penuh (full service carrier/FSA). Selain itu, merugikan konsumen dan berakibat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Larangan penjualan tiket pesawat kurang dari 40 persen dari tarif batas atas dan penghapusan tarif promo murah, sepintas lalu ada benarnya. Sebab, maskapai LCC kerap menjual tiket sangat murah, bahkan lebih rendah daripada batas bawah yang ditetapkan Kementerian Perhubungan, selaku regulator. Alias, harga tiket yang dijual terkadang lebih rendah daripada komponen biaya normal.
Belum lagi peningkatan nilai kurs dolar terhadap rupiah juga memicu tingginya biaya operasional maskapai, seperti fuel, sewa pesawat, asuransi, pemakaian pelumas dan oli, serta pemeliharaan pesawat dan jasa bandara. Pun, sekitar 80 persen komponen yang ada menggunakan dolar.
Secara hand in hand, penetapan tarif kurang dari batas bawah dan peningkatan nilai kurs dolar itu berpotensi mempengaruhi tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan. Dikatakan berpotensi, sebab maskapai akan "tergoda" memangkas biaya yang berkaitan dengan aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.
Namun, kecelakaan pesawat (termasuk tragedi jatuhnya AirAsia penerbangan QZ8501) sejatinya bukan disebabkan oleh tarif yang murah, dengan beberapa alasan. Pertama, fakta menunjukkan tarif murah yang lazim diterapkan maskapai LCC tidak berkorelasi dengan tingkat atau jumlah kecelakaan pesawat yang terjadi di berbagai belahan dunia.
Indikasinya, data insiden penerbangan dalam kurun 2003-2013 yang dikumpulkan Airline Profiler menunjukkan insiden serius yang menimpa penerbangan berbasis layanan penuh (FSA) berjumlah 818 insiden. Sedangkan insiden serupa yang dialami LCC pada periode yang sama hanya 112 kali. Juga, jumlah insiden bersifat fatalities yang dialami LLC hanya 330 insiden, sedangkan FSA sebanyak 509 kali.
Kedua, meski menetapkan tarif supermurah, secara keseluruhan model bisnis yang diterapkan LCC sejak awal 1988-semula dinilai konyol oleh jaringan penerbangan global (maskapai umum)-tetap menguntungkan dan berkembang. Terbukti, pasar LCC yang pada 2005 baru berkisar 17 persen, delapan tahun kemudian atau tepatnya pada 2013, sudah menjadi 32 persen.
Ketiga, tarif supermurah yang ditawarkan LCC ke penumpang lazimnya hanya diterapkan pada musim sepi penumpang (low season).
Keempat, keberhasilan LCC dipicu oleh kemampuannya memangkas biaya penerbangan jarak jauh dan biaya lain yang tidak perlu (no frill), tanpa meniadakan jaminan pelayanan, keamanan, dan keselamatan penerbangan dengan beberapa strategi.
Jadi, penetapan batas bawah tarif pesawat minimal 40 persen dari harga tiket terendah tarif batas atas dan penghapusan tarif promo murah tidak berkorelasi atas terjadinya kecelakaan pesawat. Sebab, harga tiket LCC bisa dijual murah bukan karena mengurangi biaya teknis perawatan dan biaya lain terkait keamanan dan keselamatan penerbangan, melainkan meniadakan kemewahan dalam penerbangan yang dilayaninya.
Dengan demikian, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 91 Tahun 2014 tentang mekanisme formulasi penghitungan dan penetapan tarif batas atas penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri perlu dikaji ulang.
Secara yuridis, berbagai fenomena itu berpotensi melanggar UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya Pasal 1, 2, 17, dan 19. Sebab, penerapan Permen Perhubungan Nomor 91 Tahun 2014 mencegah terwujudnya iklim usaha yang kondusif dan memicu timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam industri penerbangan.
Lagi pula, insiden penerbangan berbiaya murah bisa dicegah (diminimalkan) jika standar pelayanan penerbangan diawasi secara ketat dan diterapkan tanpa kompromi oleh regulator, sebagaimana diatur dalam Permen Perhubungan Nomor 49 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri.
Karena itu, upaya kaji ulang Permen Perhubungan Nomor 91 Tahun 2014 harus berefek ganda, selain bisa mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, menciptakan iklim usaha penerbangan yang kondusif. Kemampuan regulator mewujudkan kedua hal itu akan berimplikasi positif bagi konsumen, maskapai, dan keberlangsungan industri penerbangan secara nasional.