Terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat merupakan kabar buruk. Para politikus penyokong Prabowo Subianto yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih terkesan sedang membajak reformasi. Mereka telah memilih figur yang diragukan integritasnya.
Kubu Merah Putih pula yang mengusung pemilihan secara voting dalam penentuan jabatan di Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka terdiri atas Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, dan Partai Persatuan Pembangunan. Mekanisme yang tampak demokratis itu berubah menjadi kartel politik karena diikuti dengan sistem paket. Koalisi Merah Putih sudah membagi-bagi jatah posisi strategis di parlemen.
Tak hanya mengingkari prinsip demokrasi, koalisi yang dominan di parlemen itu juga sembarangan memboyong figur untuk Ketua DPR. Rekam jejak Setya jelas dipertanyakan. Bendahara Partai Golkar itu sudah disebut-sebut dalam urusan yang kurang baik sejak 1998. Saat itu perusahaan Setya menjadi juru tagih piutang Bank Bali ke empat bank yang diambil alih pemerintah karena tak bisa membayar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang awalnya tak mengakui piutang itu, setuju membayar Rp 905 miliar. Hanya Rp 350 miliar yang mengalir ke Bank Bali, sisanya menguap. Skandal ini tak pernah diusut aparat hukum, dan Setya terus melenggang di parlemen sebagai anggota Dewan yang digaji negara.
Puluhan tahun sebagai bendahara partai penguasa Orde Baru, Setya disebut pula dalam urusan lain. Nama dia sempat muncul dalam kasus penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional di Riau hingga proyek kartu tanda penduduk elektronik di Kementerian Dalam Negeri. Kini Komisi Pemberantasan Korupsi pun masih terus menyelidiki peran Setya dalam sejumlah kasus korupsi.
Dengan latar belakang seperti itu, Setya tak pantas diusung menjadi Ketua DPR. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa reformasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan nyawa sia-sia belaka. Reformasi 1998 merupakan wujud perlawanan publik terhadap kekuasaan Golkar, partai Setya itu, dengan satu harapan agar korupsi pada masa Orde Baru bisa diberantas dan politik kembali berfungsi sebagai sumber harapan hidup yang lebih baik.
Koalisi Merah Putih sebelumnya juga gegabah menyetujui mekanisme pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebelum akhirnya dibatalkan oleh presiden lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Kini mereka juga mulai berancang-ancang menolak perpu ini.
Bersikap berbeda dalam parlemen akan menyehatkan demokrasi bila dilakukan secara terukur. Koalisi Merah Putih terlihat membalas kekalahannya dalam pemilihan presiden secara "membabi-buta". Setelah berhasil mengusung Setya, mereka bertekad menyapu bersih posisi penting di Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kelak, bukan tidak mungkin pula koalisi itu akan mengubah mekanisme pemilihan presiden secara langsung menjadi lewat MPR. Jika hal ini terjadi, reformasi benar-benar tinggal kenangan.