Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya menghindari blunder seperti dalam urusan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah. Kali ini ia masih bisa mengoreksi sikapnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Tapi wewenang khusus ini tak akan ia nikmati lagi setelah tidak menjadi presiden.
Sikapnya yang mengambang sebagai Ketua Umum Partai Demokrat berakibat buruk bagi demokrasi. Manuver politikus Demokrat yang walk-out dalam pengesahan RUU Pilkada mudah ditafsirkan bahwa partai ini menyokong pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden Yudhoyono secara tak langsung ikut mengubur mekanisme demokrasi di daerah.
Presiden baru berubah sikap setelah dihujani caci maki di media sosial. Ia kemudian menerbitkan perpu pembatalan Undang-Undang Pilkada. Langkah ini bagus, tapi publik masih akan menanti apakah Yudhoyono benar-benar ingin menyelamatkan demokrasi atau sekadar menyelamatkan muka.
Kalau memang Presiden Yudhoyono ingin membela pilkada langsung, tentu sikap ini kelak akan tecermin dalam langkah politik Demokrat di DPR. Apakah para politikus Demokrat serius mempertahankan perpu atau sebaliknya. Kendati suara partai ini di DPR jauh lebih kecil dibanding pada periode 2009-2014, hal itu tetap akan menentukan.
Pertarungan sengit antara kubu pro-Prabowo dan pro-Jokowi di parlemen membuat posisi Demokrat amat strategis. Bukan hanya soal Perpu Pilkada, partai ini juga menjadi penentu stabilitas pemerintah Jokowi. Dengan mudah Demokrat bisa bergabung dengan kubu pro-Prabowo untuk mengganjal kebijakan pemerintah. Tapi partai ini juga bisa menjadi penyokong sekaligus penentu keberhasilan Jokowi.
Dalam konstelasi politik di Majelis Permusyawaratan Rakyat pun suara Demokrat sangat penting, terutama menyangkut perubahan konstitusi. Bayangkan bila kelompok pro-Prabowo hendak mengubah pemilihan presiden secara langsung menjadi pemilihan lewat MPR. Ide ini mungkin akan disokong oleh para anggota Dewan Perwakilan Daerah memiliki kepentingan lain, yakni memperbesar wewenang DPD. Nah, Demokrat masih bisa diharapkan ikut menghambat gagasan antidemokrasi seperti itu.
Kubu Jokowi yang terdiri atas PDIP dan beberapa partai lain jelas tidak sanggup mengatasi manuver pro-Prabowo tanpa sokongan Demokrat. Di MPR, kubu Jokowi hanya memiliki 208 kursi, kurang dari sepertiga jumlah kursi lembaga ini yang mencapai 692. Padahal, untuk menghadang perubahan konstitusi, setidaknya diperlukan sepertiga plus satu kursi.
Jika Yudhoyono benar-benar ingin menjaga demokrasi di Republik ini, begitu banyak peran Demokrat pada masa mendatang. Semua itu mesti dilakukan dengan cermat, dan bukan manuver serampangan seperti dalam kasus RUU Pilkada. Sekali salah langkah, kelak Yudhoyono tak bisa mengoreksinya lagi seperti sekarang.