Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Vatikan

Oleh

image-gnews
Iklan

untuk Cak Nur

Pada suatu hari, kata orang, Stalin bertanya, "Berapa batalion, sih, Vatikan punya?"

Di negeri itu, kita tahu, hanya ada beberapa ratus orang Corpo della Garda Svizzera yang bertugas sebagai penjaga Paus. Vatikan cuma 44 hektare, lebih sempit dibandingkan dengan The Mall di Washington, DC; anggaran tahunannya sekitar US$ 500 juta, hanya 25 persen dari bujet Universitas Harvard.

Tapi di sana duduk seorang tua yang ketika pekan lalu wafat dan dimakamkan, sekitar 200 pembesar tinggi dunia datang untuk berkabung dan memberi hormat.

Abad modern memang tak pernah kehabisan paradoks—dan agaknya inilah yang dilihat Stalin. Kita tahu Vatikan dengan gampang akan dimusnahkan oleh sembarang negeri dengan pasukan berpuluh-puluh divisi, tapi ternyata negeri-negeri yang besar bahkan tetap perlu bermanis-manis dengan takhta yang ringkih itu. Kini, ketika Amerika Serikat ingin mempraktekkan kembali asas Hobbesian—bahwa "tiap orang diharapkan berjanji patuh kepada yang punya kekuasaan untuk menyelamatkan atau menghancurkan" —Gedung Putih masih merasa perlu menyapa Paus yang tak akan bisa meruntuhkan siapa pun.

Vatikan adalah sebuah interupsi. Berabad-abad sejarah dibangun oleh konflik, dan sebagaimana perang saudara Inggris pada abad ke-17 mengilhami Thomas Hobbes, konflik itu menunjukkan bahwa hidup sering merupakan padang perburuan yang brutal. Kekuatan dan kekerasan (bukan niat baik) adalah yang membentuk dunia. Tujuan hanya jadi penting bila dihubungkan dengan kemenangan dan kejayaan, dan kebenaran berpangkal di situ. Dari masa seperti ini sarkasme Voltaire bergaung: "Kata orang, Tuhan selalu berpihak pada batalion-batalion terbesar."

Tapi itu "kata orang". Dalam prakteknya, apalagi pada hari ini, tak pernah ada kesepakatan di mana Tuhan berpihak. Maka selalu ada kebutuhan untuk memberi makna kepada "batalion-batalion terbesar", dan tak cuma memberi mereka rencana kemenangan. La politique—pergulatan untuk kejayaan satu pihak—pada akhirnya juga le politique, pergulatan untuk mengisi apa yang kurang dari kejayaan itu.

Yang kurang adalah "pembenaran"—hingga sebuah tindakan politik dapat diterima semua pihak untuk waktu yang sedapat-dapatnya tak terbatas. Yang kurang adalah sesuatu yang "transendental".

Kita hidup di masa ketika siapa saja yang bersengketa mau tak mau harus mengajukan argumen. Segera atau berangsur-angsur orang tahu bahwa apa yang "adil" dan "lalim" tak bisa serta-merta diputuskan sepihak dengan kekerasan. Maka, ketika tak ada hakim di pusat yang pasti yang akan memutuskan perkara ini, dan yang ada hanyalah hegemoni sebuah citra atau ide yang tak mutlak dan tak lengkap, orang pun terus-menerus haus akan simbol-simbol "pembenaran".

Vatikan, yang bukan pusat, adalah satu indikator kebutuhan itu, rasa kekurangan yang juga dirasakan oleh negeri mana saja yang hanya punya bujet dan bedil. Takhta Suci itu tak sempurna—bahkan ada yang menganggapnya tak suci benar—tapi setidaknya ia sebuah isyarat bahwa dunia yang dibayangkan Hobbes tak sepenuhnya cocok dengan kehidupan. Dalam kehidupan, yang lemah ternyata bisa punya proteksi dan kesetiaan sendiri. Justru ketika Sri Paus dan aparatnya tak lagi menguasai tanah dan takhta seperti pada Abad Pertengahan Eropa, dan tak lagi terlibat perang dan penindasan, ia bisa lebih meyakinkan sebagai lambang "kerajaan yang lain".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia hadir dengan nilai lebih karena ia dianggap bukan "kerajaan dunia" yang tak henti-hentinya terpaut oleh kepentingan yang sepihak dalam percaturan pamrih dan kekerasan. Bukankah Yesus menampik kerajaan macam itu ketika Iblis menawarkannya dalam ujian di padang gurun—dan sejak itu manusia tahu bahwa kalaupun yang "transendental" mustahil akan datang hari ini, "kerajaan yang lain" itu akan selalu mengimbau, akan selalu mengingatkan apa yang kurang dari la politique.

Itulah sebenarnya yang dapat ditawarkan bukan saja oleh Vatikan, tapi oleh tiap agama: menghadirkan imbauan dari "kerajaan yang lain". Tapi betapa sulitnya. Agama telah jadi kelompok, dan kelompok jadi kubu, dan tembok didirikan, juga pintu yang tertutup.

Tak mengherankan bila ada keraguan, di manakah yang transendental dalam peta semacam itu. Bagaimanakah sebuah agama dapat mencerminkan apa yang agung dari Tuhan, selama agama itu terlibat dalam perebutan kapling di dunia?

Pertanyaan seperti itu kian deras, sebab kian terasa pula kurangnya sumber-sumber "pembenaran" yang bisa diterima semua pihak di dunia sekarang. Mungkin itu sebabnya, di satu sisi kita takut melihat menyempitnya pandangan agama-agama, di lain sisi kita hidup di masa ketika Tuhan, sumber pembenaran yang universal, dirindukan kembali—sebuah masa "pasca-sekuler".

Maka dengan susah payah agama-agama pun mulai merenungkan posisi masing-masing: mungkinkah yang universal sepenuhnya diwakili hanya oleh satu sistem dan tradisi kepercayaan yang partikular, yang tak jarang punya sejarah yang penuh darah dan ketakaburan?

Dalam perenungan kembali ini, saya akan selalu teringat Nurcholish Madjid: ia berada di garis depan, tapi ia juga berada di sebuah tradisi yang dimulai ketika orang Islam pertama mendengar Quran dan diingatkan bahwa banyak nabi yang dikirim Tuhan ke bumi, dengan aturan dan jalan masing-masing. "Seandainya Tuhan menghendaki," demikian mereka dengar firman itu, "Ia akan menjadikan manusia sebuah bangsa yang tunggal." Dengan kata lain, mereka tahu bahwa nilai-nilai yang universal tak akan hadir di satu tempat. Orang akan menemukannya di posisi di mana yang universal disuarakan.

Pekan lalu, dalam perkabungan untuk Paus Yohanes Paulus II, Vatikan adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang berada di posisi itu. Ke sana datang Ayatullah Khatami dari Iran, ke sana datang pula George W. Bush dari Amerika, Presiden Israel, Perdana Menteri Palestina….

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Penonton Siksa Kubur Salip Badarawuhi di Desa Penari, Manoj Punjabi: Kompetisi Makin Sehat

1 jam lalu

Poster film Siksa Kubur. Dok. Poplicist
Penonton Siksa Kubur Salip Badarawuhi di Desa Penari, Manoj Punjabi: Kompetisi Makin Sehat

Produser MD Entertainment Manoj Punjabi Badarawuhi di Desa Penari, mengucapkan selamat atas capaian Siksa Kubur.


Cara Shin Tae-yong Meramu Pemain Muda Dinilai Jadi Kunci Naikkan Level TImnas Indonesia di Asia

1 jam lalu

Pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong bersama para pemainnya di Piala Asia U-23 2024. Doc. AFC.
Cara Shin Tae-yong Meramu Pemain Muda Dinilai Jadi Kunci Naikkan Level TImnas Indonesia di Asia

Ronny Pangemanan menilai kombinasi pemain muda lokal dan naturalisasi di bawah arahan Shin Tae-yong melahirkan Timnas Indonesia yang bagus.


Empat Tahun Pacaran, Ranty Maria Dilamar Rayn Wijaya di Tempat Impiannya

2 jam lalu

Rayn Wijaya melamar Ranty Maria. Foto: Instagram.
Empat Tahun Pacaran, Ranty Maria Dilamar Rayn Wijaya di Tempat Impiannya

Ranty Maria mendapat lamaran dari sang kekasih, Rayn Wijaya tepat di hari ulang tahunnya ke-25 di tempat yang sudah lama diimpikannya.


Pameran K-Pop D'Festa Siap Hadir Selama 45 Hari di Jakarta, Catat Tanggalnya

3 jam lalu

Konferensi Pers Pameran K-Pop D'Festa 2024 di Jakarta/Tempo-Mitra Tarigan
Pameran K-Pop D'Festa Siap Hadir Selama 45 Hari di Jakarta, Catat Tanggalnya

Para penggemar K-Pop akan segera dimanjakan dengan pameran K-Pop D'Festa, di Jakarta.


Perjalanan Politik Nikson Nababan Menuju Gubernur Sumatera Utara

4 jam lalu

Perjalanan Politik Nikson Nababan Menuju Gubernur Sumatera Utara

April yang lalu, suasana kediaman Tuan Guru Batak (TGB) Syekh Dr. H. Ahmad Sabban El-Ramaniy Rajagukguk, M.A di Simalungun menjadi saksi pertemuan penting antara Nikson Nababan, Ketua DPC PDI Perjuangan Tapanuli Utara, dengan tokoh agama yang berpengaruh.


MK Gelar Sidang Sengketa Pileg Mulai Pekan Depan, KPU Siapkan Ini

4 jam lalu

Sidang putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 dihadiri 8 hakim, gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, 22 April 2024.  TEMPO/ Febri Angga Palguna
MK Gelar Sidang Sengketa Pileg Mulai Pekan Depan, KPU Siapkan Ini

Terdapat 16 partai politik yang mendaftarkan diri dalam sengketa Pileg 2024.


FFI Pertimbangkan Penambahan Kategori Baru di Festival Tahun Depan

5 jam lalu

Ketua Bidang Penjurian FFI 2024-2026 Budi Irawanto. Foto: Instagram.
FFI Pertimbangkan Penambahan Kategori Baru di Festival Tahun Depan

FFI masih harus mendiskusikan hal tersebut sebagai kategori baru sehingga belum bisa ditambahkan pada FFI 2024.


Terobos Lampu Merah, Menteri Ekstremis Israel Ben-Gvir Kecelakaan

5 jam lalu

Kendaraan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir terlibat dalam kecelakaan di Ramle pada 26 April 2024. (Screencapture/X)
Terobos Lampu Merah, Menteri Ekstremis Israel Ben-Gvir Kecelakaan

Mobil Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir terbalik dalam kecelakaan mobil karena menerobos lampu merah


Hasil Piala Asia U-23, Uzbekistan Taklukkan Juara Bertahan Arab Saudi

5 jam lalu

Timnas Uzbekistan saat melawan Timnas Arab Saudi, di perempat final Piala Asia U-23 2024. Foto/Video/rcti
Hasil Piala Asia U-23, Uzbekistan Taklukkan Juara Bertahan Arab Saudi

Uzbekistan akan menjadi lawan Indonesia di semifinal Piala Asia U-23 pada Senin, 29 April 2024.


Youtuber Jang Hansol dan Food Vlogger Om Kim Senang Indonesia Kalahkan Korea Selatan

5 jam lalu

Youtuber, Jang Hansol. Foto: Instagram.
Youtuber Jang Hansol dan Food Vlogger Om Kim Senang Indonesia Kalahkan Korea Selatan

Jang Hansol menyebut kekalahan Korea Selatan dari Timnas U-23 bisa menjadi pembelajaran berharga bagi sepak bola di negaranya.