TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia memperkirakan bahwa harga riil gula di pasar dunia (dolar Amerika 2010) pada 2025 akan turun dari US$ 0,37 per kilogram pada 2013 menjadi US$ 0,28 per kilogram. Dengan nilai kurs US$ 1 sama dengan Rp 12.605 saat tulisan ini disusun, harga gula per kilogram di pasar internasional pada 2025 adalah Rp 3.529. Sangat murah!
Tahun 1975 perlu dijadikan tahun bersejarah bagi Indonesia. Pada tahun itu, harga gula mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah, dan Indonesia melahirkan kebijakan baru, yaitu Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Salah satu tujuannya adalah mencapai swasembada gula, tujuan yang sekarang juga menjadi pedoman.Sayang sekali, Inpres Nomor 9 Tahun 1975 akhirnya dicabut dan diganti dengan Inpres Nomor 5 Tahun 1998 setelah gagal mencapai tujuan.Saat itu, produksi gula Indonesia, selain berada di posisi terendah, terkena dampak tekanan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Baca Juga:
Setelah Reformasi 1998, terjadi hal menarik, yaitu lahirnya model kebijakan ekonomi dualistik pada ekonomi pergulaan.Modelini mendikotomikan gula kristal putih (GKP) dengan gula kristal rafinasi (GKR). GKR, yang berbahan baku gula mentah impor, dianggap lebih superior ketimbang GKP, yang berbahan baku tebu yang ditanam di Tanah Air.
Apa implikasinya? Cara pandang tersebut akan membuat GKP hasil dari tebu yang ditanam di dalam negeri hilang secara permanen.Apakah kita menghendaki kehilangan kesempatan ekonomi akibat matinya industri gula di dalam negeri? Bagaimana dengan referensi di luar negeri?
Referensi yang paling nyata adalah pilihan AS dalam menetapkan sirup manis yang dibuat dari jagung (high fructose corn syrup/HFCS) sebagai balasan terhadap kenaikan harga gula yang tajam pada awal 1970-an. Mengapa kita tidak memilih sagu, aren, kelapa,atau singkong, plus tetap mengembangkan tebu, misalnya?
Apa sih sebenarnya potensi besar kita? Pertama, Indonesia harus memiliki strategi untuk menjaga pasar dalam negeri.
Kedua, kemampuan yang belum dimanfaatkan dengan baik serta lahan yang tersedia harus lebih disorot.Kemampuan kita di bidang pergulaan cukup besar mengingat sejarah Indonesia, tapi hal ini berada dalam bayang-bayang budaya yang melahirkan inefisiensi. Efisiensi ini bukan sekadar hasil dari kebun atau pabrik, tapi juga merupakan resultante dari seluruh komponen terkait. Untuk mengejar efisiensi ini, kita harus rela belajar dari perkebunan tebu dan pabrik gula milik swasta yang berhasil.
Hanya, pada masa mendatang, model korporasi perlu diperbaiki, tepatnya sedikit meniru model Thailand, yaitu usaha perkebunan dilakukan oleh petani, sedangkan usaha pabrik gula dikelola oleh pabrik gula. Supaya bisa bersaing,skala usaha petani tebu dapat mengikuti reformasi agraria model Abraham Lincoln (Homestead Act 1862), yaitu luas lahan per petani sekitar 65 hektare. Hal ini penting mengingat 70-80 persen biaya investasi dikeluarkan untuk mendukung industri gula yang berada di perkebunan, Adapun 20-30 persen komponen investasi pabrik gula dipikul oleh perusahaan (swasta atau BUMN). Dengan demikian, hasil dari peningkatan efisiensi ini dapat digunakan untuk investasi jangka panjang, khususnya dalam bidang penelitian dan pengembangan serta infrastruktur.
Pola inilah yang semestinya menjadi kelanjutan Reformasi Politik 1998, yaitu Reformasi Agribisnis, termasuk pergulaan.