TEMPO.CO, Jakarta - Feri Amsari, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Tidak mungkin kucing dipercaya menjaga ikan. Sebagaimana tidak masuk akalnya jika pencuri diminta melindungi barang berharga.
Namun, dalam politik, semuanya "mungkin", terutama jika hasrat kepentingan menghendakinya demikian. Kemungkinan itu kuat tercium pada proses pencalonan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Meskipun berstatus tersangka kasus korupsi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui nama tunggal yang diajukan Presiden tersebut. Dapat dipastikan bahwa Indonesia akan menjadi negara pertama yang menjadikan tersangka pidana sebagai pemimpin tertinggi untuk melawan kejahatan.
Presiden (juga orang-orang di sekitar istana) dan DPR berpendapat tersangka bukanlah terpidana berdasarkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent). Sebagaimana dipahami kebanyakan ilmuwan hukum, asas praduga tidak bersalah merupakan sebuah landasan yang digunakan untuk melindungi siapa pun yang dianggap melakukan kejahatan sampai terbukti bersalah di pengadilan. Asas praduga tidak bersalah diterapkan sebagai "tameng" bagi tersangka untuk menghindari asumsi awal penegak hukum tanpa pembuktian.
Shima Baradaran menyebutkan bahwa penggunaan praduga tidak bersalah hanya berlaku pada ranah peradilan saja (Restoring Presumption of Innocent, Ohio State Law Journal, 2011, hlm. 3). Menurut Baradaran, penggunaan asas itu bertujuan menghindari hakim menggunakan asumsi tanpa bukti. Sehingga harus dipahami bahwa asas praduga tidak bersalah bukanlah legal maxim yang diterapkan sebelum proses peradilan berlangsung.
Terhadap pelaku yang diduga melakukan kejahatan, sebelum proses peradilan tetap "diberikan" kepadanya asas praduga bersalah (presumption of guilt). Itu sebabnya, penyebutan "tersangka" dilekatkan kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Bahkan lebih jauh, seorang tersangka dapat ditahan sebelum proses peradilan dimulai. Hal itu mengindikasikan penerapan asas praduga bersalah kepada seorang tersangka (baca Michael J. Saks dan D Michael Risinger, Baserates, The Presumption of Guilt, Admissibility Rulings, and Erroneous Conviction, Michigan State DCL Law Review, 2003, hlm. 1.061). Artinya, seorang tersangka (atau terdakwa) adalah penjahat "sementara" yang pada proses peradilan diberikan perlindungan hak sebagai orang yang tidak bersalah kecuali alat bukti dan keyakinan hakim menyatakannya bersalah. Ketika hakim memutuskannya bersalah, status penjahat "sementara" berganti sebagai terpidana.
Berdasarkan pemahaman asas tersebut di atas, mustahil orang yang diduga melakukan kejahatan (baca: tersangka) diberikan amanah mengelola jabatan publik hingga proses peradilan menyatakan dirinya bersih dari segala perbuatan jahat. Menjadikan tersangka sebagai pejabat publik merupakan kebijakan berisiko besar terhadap keselamatan umum. Itu sebabnya pilihan Presiden Jokowi merupakan "perjudian besar" dalam sejarah kehidupan bernegara.
Perjudian Presiden itu juga mengabaikan semangat Reformasi yang termaktub dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dalam Pasal 5 angka 4 UU tersebut ditentukan bahwa penyelenggara negara berkewajiban untuk tidak melakukan perbuatan KKN. Sebagai seorang tersangka kasus korupsi, potensi sang calon Kepala Polri melakukan tindakan KKN sangat besar. Wajar jika langkah Jokowi memberikan tanggung jawab besar kepada figur yang bermasalah merupakan pilihan berisiko.
Bahkan, jika disimak asas-asas penyelenggaraan negara yang dimaktub dalam Pasal 3 UU Nomor 28/1999, pilihan Jokowi menjadikan seorang tersangka sebagai Kepala Polri adalah tindakan yang tidak profesional, tidak tertib penyelenggaraan negara, tidak memperhatikan kepentingan umum, dan tidak akuntabel (bertanggung jawab). Jika Jokowi memaksakan kehendak, bukan tidak mungkin pemerintahannya dianggap melanggar semangat Reformasi penyelenggara negara yang menjadi dasar perubahan UUD 1945. Jokowi dapat diduga melanggar "jiwa konstitusi".
Jokowi (juga orang-orang di sekelilingnya) harus mampu berpikir bahwa ada "pergerakan" tak wajar di parlemen terkait dengan pengajuan calon Kepala Polri. Dua kubu parlemen yang selalu berseteru tiba-tiba berjabat tangan menyetujui pilihan Jokowi. Bahkan sebelum proses fit and proper test di parlemen, sebagian anggota DPR "sowan" ke rumah calon Kepala Polri.
Bagi saya, sulit dihindari dugaan bahwa terdapat langkah tersembunyi DPR (terutama oposisi pemerintah) yang mengabaikan kepentingan rakyat. Jika langkah DPR itu "bersih", mestinya tuntutan calon Kepala Polri bebas KKN tentu lebih kuat. Namun desakan itu tak terjadi sebagaimana kubu oposisi biasanya. Itu sebabnya, bukan tidak mungkin persetujuan DPR adalah "jebakan" untuk menjerumuskan pemerintah Jokowi kepada masalah besar di kemudian hari.