TEMPO.CO, Jakarta - Tom Saptaatmaja, Alumnus Seminari St. Vincent de Paul
Enam orang terpidana mati dipastikan sudah dieksekusi oleh satuan Brimob Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Sepanjang sejarah umat manusia, hukuman mati memang selalu mengundang pro-kontra. Sebelum keenam orang di atas dieksekusi, juga muncul pro-kontra di Tanah Air.
Yang kontra antara lain berargumen, hukuman mati tak menimbulkan efek jera; Indonesia akan kesulitan membela WNI yang divonis mati di luar negeri; hukuman mati bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM); hanya Tuhan yang berhak mengambil nyawa seseorang; tanpa dieksekusi pun pada akhirnya toh orang akan mati dengan sendirinya; dan lain sebagainya.
Sedangkan yang pro berargumen, hukuman mati adalah konstitusional; mandat Tuhan untuk mengambil nyawa sudah diberikan kepada negara; adil untuk para perusak mental bangsa seperti penjahat narkotik; demi penegakan hukum; dan lain sebagainya.
Umur hukuman ini sudah setua peradaban manusia sendiri. Codex Hammurabi (tahun 2000 Sebelum Masehi) sudah mencantumkan hukuman mati, bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk binatang yang membunuh manusia (Dr J.A. Drossaart Bentfort, Tijdschrift voor Strafrecht 1940, Deep I p 308-309).
Dalam sejarah, ada dua kasus pidana mati terbesar yang juga penuh kontroversi. Pertama, menimpa Socrates yang dihukum mati sekitar tahun 400 Sebelum Masehi. Dia dianggap menyesatkan kaum muda karena mengajari mereka berfilsafat (berasal dari "filosofein", berarti mencintai kebenaran) sehingga terhindar dari kedangkalan berpikir. Tapi Socrates justru dituduh memurtadkan banyak orang muda oleh pengadilan para sofis, dan dijatuhi hukuman mati. Meski dibujuk untuk melarikan diri, Socrates tetap memilih meminum racun. Tubuh Socrates mati oleh racun itu, tapi anehnya, pemikiran-pemikirannya terus hidup hingga kini.
Yang kedua, kasus pidana mati yang menimpa Yesus, yang dicatat oleh Tacitus, sejarawan sekuler pada era Romawi. Yesus dihukum mati dengan disalib. Hukuman salib adalah hukuman hina. Yesus sebagai orang Yahudi justru disalib oleh bangsanya sendiri, dengan mengambil tangan penguasa Romawi. Sayangnya, sepanjang 2.000 tahun ini, salib justru banyak dipakai untuk membunuh, bahkan menghukum mati (zaman inkuisisi).
Tapi gereja menyadari kekeliruannya sehingga dalam Konsili Vatikan II kembali mengajarkan kecintaan kepada kehidupan dengan melarang hukuman mati. Tidak mengherankan, Konferensi Wali Gereja Indonesia paling lantang menentang hukuman mati, termasuk untuk kelima terdakwa kasus narkoba. Padahal Majelis Ulama Indonesia justru setuju atas hukuman itu.
Dan, gara-gara eksekusi atas warganya, Brasil dan Belanda menarik dubesnya dari Jakarta. Kejaksaan pun minta negara lain menghormati hukum Indonesia. Memang, seiring dengan nilai-nilai HAM, banyak negara sudah menghapus hukuman mati. Bahkan sudah ada Hari Penghapusan Hukuman Mati setiap 10 Oktober (sejak 2007). Namun pro-kontra hukuman mati akan terus hidup.