Hasil penyelidikan kasus bentrokan antara polisi dan tentara di Batam kurang memuaskan. Tim gabungan TNI-Kepolisian RI menyimpulkan bahwa dua tentara merupakan beking penimbun bahan bakar minyak. Tapi tidak diungkap apakah atasan mereka terlibat.
Rekomendasi tim gabungan juga terkesan kompromistis. Tentara yang menjadi centeng penimbun BBM ilegal akan diproses hukum oleh TNI. Sedangkan anggota Brimob yang menembak tentara pada insiden 21 September itu akan ditangani oleh kepolisian. Kejanggalan lainnya adalah anggota TNI yang menjadi beking dinyatakan tak mengetahui bahwa penimbunan BBM itu ilegal.
Mustahil dua anggota Batalion 134 Tuah Sakti itu tidak tahu-menahu soal motif penimbunan BBM. Komandan batalion infanteri di lingkungan Kodam I/Bukit Barisan ini seharusnya tidak membiarkan anak buahnya menjaga tempat penimbunan BBM ilegal, yang kemudian digerebek polisi dan memicu bentrokan. Pengerahan tentara untuk pengamanan hanya diperbolehkan untuk menjaga obyek vital.
Tim gabungan terlalu menyederhanakan masalah dan hanya berfokus pada urusan bentrokan antara tentara dan polisi. Tidak tepat pula pendapat yang menyatakan masalah ini mirip "kenakalan remaja" seperti yang diungkapkan oleh Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Fuad Basya. Selain urusan disiplin militer, tim gabungan semestinya membongkar keterlibatan aparat dalam penimbunan BBM yang sejak awal cenderung ditutup-tutupi. Bahkan semula TNI membantah sama sekali keterlibatan personelnya dalam bisnis ilegal ini.
Kasus penimbunan BBM tidak bisa dianggap remeh karena kejahatan ini merugikan negara. Ada total 29 kasus serupa yang sedang diselidiki polisi. Kerugian negara dalam satu tahun akibat penimbunan BBM ilegal di Batam mencapai Rp 438 miliar. Bukan rahasia lagi, bisnis gelap ini sulit diberantas lantaran kepolisian sering tidak berkutik ketika menghadapi beking.
Bentrokan aparat TNI dengan kepolisian yang terjadi di banyak daerah lain juga kerap dipicu oleh urusan "penjagaan keamanan" atas bisnis ilegal. Lembaga Imparsial mencatat, selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada 19 kasus bentrokan antara tentara dan polisi. Catatan ini seharusnya menjadi bahan evaluasi untuk membenahi TNI dan kepolisian.
Upaya itu bisa dimulai dengan mengadili personel TNI dan polisi yang terlibat dalam kasus Batam secara transparan lewat pengadilan koneksitas. Penyidikan perkara koneksitas dilakukan oleh polisi, polisi militer, dan oditur militer. Para pelaku, baik sipil maupun militer, yang terlibat dalam kasus penimbunan BBM bisa diadili secara bersamaan. Sesuai dengan Undang-Undang Minyak dan Gas, pelaku penimbunan BBM bersubsidi diancam maksimal hukuman 6 tahun penjara.
Sulit mengharapkan adanya transparansi bila aparat yang terlibat diproses hukum secara internal. Boleh jadi, keterlibatan atasan personel TNI akan cenderung ditutup-tutupi. Jika TNI serius ingin mengoreksi diri, seharusnya mereka merelakan personelnya yang terlibat dalam kasus Batam diadili di pengadilan koneksitas.