Presiden Joko Widodo boleh saja mengubah struktur kabinet demi efisiensi dan memperlancar roda pemerintah. Tapi, biar perubahan ini tak terkesan "cuma asal beda" dengan pemerintah sebelumnya, ia mesti secepatnya membuktikan efektivitas struktur baru itu.
Struktur baru akan berjalan mulus bila Jokowi pintar menempatkan figur yang pas. Soalnya, tidak mudah memimpin lembaga baru. Misalnya, siapa pun yang akan ditugaskan menjadi Menteri Koordinator Maritim, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup, ia harus bekerja ekstra-keras. Karena pos ini baru, ia mesti menata kementerian sebelum menggerakkannya untuk melaksanakan program.
Tak hanya menambah menteri koordinator yang selama ini hanya tiga menjadi empat, Jokowi juga berencana menggabungkan beberapa kementerian. Bidang pendidikan tinggi, yang selama ini masuk Kementerian Pendidikan, digabung dengan Kementerian Riset dan Teknologi. Perubahan ini mencuatkan nama baru: Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi. Ada pula Kementerian Kedaulatan Pangan, yang merupakan gabungan bidang pertanian dan perikanan, yang dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono masing-masing masuk pos terpisah: Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan.
Urusan sepele yang segera disiapkan tentu saja anggaran perubahan nama. Biaya perubahan nomenklatur satu kementerian diperkirakan sebesar Rp 80-120 miliar-Rp 1 miliar di antaranya cuma untuk kop surat. Presiden Jokowi juga mesti menentukan di mana kementerian itu akan berkantor, terutama bagi pos baru, seperti Menteri Koordinator Maritim.
Jangan sampai proses perubahan itu berantakan seperti yang terjadi pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Saat itu Gus Dur melebur Kementerian Pertanian dengan Kementerian Kehutanan. Ternyata kementerian baru yang dipimpin oleh Bungaran Saragih ini tidak bisa berjalan mulus. Akibatnya, pada Kabinet Gotong Royong, yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, kedua kementerian itu kembali dipisah.
Kegagalan peleburan kementerian biasanya disebabkan oleh gesekan keras di kalangan pejabat teknis. Karena itu, menteri yang memimpinnya harus mampu mengakomodasi kepentingan pejabat dan pegawai yang semula berasal dari kementerian yang berbeda. Proses peleburan selalu tidak mudah. Bahkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara pernah menghitung, agar kementerian baru bisa efektif bekerja, dibutuhkan waktu minimal satu tahun.
Itulah ganjalan yang perlu diantisipasi Jokowi bersama wakilnya, Jusuf Kalla. Perubahan struktur yang bertujuan membuat birokrasi berjalan lebih gesit dan efisien bisa meleset bila tidak disiapkan secara matang. Proses penggabungan pun perlu dikawal secara ketat. Duet ini tidak boleh gagal menata kementerian baru karena hal tersebut akan menghambat pelaksanaan program yang mereka janjikan dalam kampanye.