Tugas paling mendesak Presiden Joko Widodo saat ini adalah segera menentukan nama menteri-menterinya. Publik berharap Jokowi memegang teguh janjinya, mencari pembantu yang profesional, kapabel, serta bersih dari noda korupsi. Dengan prinsip ini, pemerintah baru bakal kuat.
Rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan harus dijadikan acuan. Sejumlah nama yang disebut bermasalah dan berpotensi menjadi tersangka semestinya tak boleh masuk. Nama-nama seperti Agustin Teras Narang--disebut-sebut sebagai calon Menteri Dalam Negeri--sebaiknya dicoret.?Berdasarkan temuan PPATK, Gubernur Kalimantan Selatan ini pernah melakukan transaksi pencairan dana Rp 2 miliar dari PT Sampit dan setoran dana Rp 2,1 miliar dari PT Kapuas Prima Coal pada 2008. Meski yang bersangkutan menyangkal, rekam jejak ini mengindikasikan aroma gratifikasi.
Nama Rini Soemarno juga disebut sebagai calon Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Namun rekam jejaknya tergolong "lampu kuning". Menteri Perindustrian pada 2001-2004 ini pernah diperiksa KPK dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas BI.
Tentu masih banyak nama yang patut dicoret. Misalnya Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa. Ia pernah diperiksa KPK dalam kaitan dengan dugaan suap Rp 2 miliar sewaktu menjabat Menteri Transmigrasi. Presiden tak perlu keder walau para calon bermasalah tersebut berasal dari partai pendukung. Jokowi harus konsisten dengan niat koalisi tanpa syarat yang ia cetuskan. Apalagi, dari 43 nama yang diserahkan KPK dan PPATK, disebutkan ada beberapa yang berpotensi jadi tersangka korupsi.
Meski waktu sudah mepet, Presiden mesti kembali mencari calon menteri yang bersih. Penilaian KPK dan PPATK tetap diperlukan sebagai filter. Para calon harus lolos kriteria, yaitu hartanya bersih dan telah dilaporkan, tak pernah menerima atau terlibat suap, serta tidak terkait dengan kasus yang ditangani KPK.
Namun lolos filter KPK dan PPATK baru satu langkah. Yang juga penting adalah kompetensi dan kapabilitas. Dalam kriteria ini, banyak nama yang dianggap tidak tepat. Misalnya politikus Puan Maharani dan Tjahjo Kumolo. Publik belum melihat prestasi masing-masing. Puan, yang digadang-gadang sebagai calon Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, lebih dikenal sebagai anak kandung Megawati. Pengalamannya sebagai pejabat publik belum teruji. Begitu pula Tjahjo Kumolo yang, seperti halnya Puan, berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Ada pula nama Hamid Awaluddin, bekas Menteri Hukum dan HAM, yang disinyalir merupakan titipan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dua jenderal polisi juga masuk bursa menteri, yaitu Inspektur Jenderal Syafruddin dan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Nama terakhir sempat diributkan dalam kasus rekening gendut Polri, beberapa tahun silam.
Itulah tugas berat pertama Jokowi sebagai presiden. Jika mampu melakukannya dengan baik, ia telah memiliki modal kuat untuk mempelopori pemerintahan yang bersih dan profesional.