Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan kabinetnya. Sulit mengatakan bahwa nama-nama menteri yang dimaklumatkan kemarin itu cukup ideal. Jokowi tampak terlalu banyak mengakomodasi kepentingan kalangan partai politik, sehingga memunculkan sejumlah kelemahan.
Deretan menteri yang memimpin bidang perekonomian sebetulnya lumayan. Sofyan Djalil, yang diangkat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, merupakan figur yang berpengalaman. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara. Begitu pula Bambang Sumantri Brodjonegoro, yang memimpin Kementerian Keuangan. Ia juga tidak butuh belajar lama, karena selama ini telah menjadi Wakil Menteri Keuangan.
Hanya, di sektor ini, Presiden Jokowi masih mengusung Rini Soemarno-figur yang mengundang kontroversi-sebagai Menteri BUMN. Nama Rini dianggap sebagai titipan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Rini banyak disorot dalam soal pembelian pesawat Sukhoi di era Presiden Megawati. Saat itu ia menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Tampilnya Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga mencengangkan. Putri Megawati yang kurang berpengalaman dan diragukan kapasitasnya ini harus memimpin bidang yang amat penting. Ia mesti mengkoordinasikan berbagai pos, seperti Kementerian Agama, Kementerian Ristek dan Perguruan Tinggi, serta Kementerian Kesehatan.
Besarnya kepentingan partai yang harus diakomodasi jelas menyulitkan Jokowi. Mirip dengan kabinet Presiden Yudhoyono, akhirnya cukup banyak orang partai yang masuk kabinet. Jumlahnya saja yang berbeda. Pada era Yudhoyono, politikus yang masuk kabinet mencapai sekitar 18 orang. Sedangkan kali hanya sekitar 14 orang dari 34 pos kementerian. Jatah kalangan partai ini tampaknya dibagikan secara proporsional kepada partai penyokong Jokowi-Kalla, yakni PDIP, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat.
Perbedaan yang lain, Jokowi melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dalam menyeleksi para menteri. Cara ini bagus dan diharapkan diberlakukan juga untuk jabatan-jabatan lain di luar kabinet. Sejumlah figur yang "kurang bersih" semula sempat masuk bursa calon menteri, tapi akhirnya terpental gara-gara ditandai dengan stabilo merah oleh KPK. Masalah ini pula yang membuat pengumuman kabinet tertunda karena Jokowi harus mencari calon pengganti.
Betapa sulit menginginkan kabinet yang benar-benar "presidensial" karena, secara politik, Jokowi bergantung pada partai pendukungnya. Prinsip bahwa pengangkatan menteri merupakan wewenang penuh presiden, seperti digariskan dalam konstitusi, tak pernah bisa dilaksanakan seutuhnya. Hanya, kelemahan ini bisa ditutupi bila Presiden Jokowi bisa memacu anggota kabinet untuk bekerja dan bekerja seperti yang ia janjikan.