PRESIDEN Joko Widodo sebaiknya memilih Jaksa Agung yang bebas dari kepentingan politik. Pengisian jabatan ini merupakan salah satu indikator keseriusannya dalam mewujudkan janji kampanye untuk "memilih Kapolri dan Jaksa Agung yang kompeten sekaligus antikorupsi". Jika perlu, Jokowi bisa mengangkat figur dari luar Kejaksaan.
Langkah paling minimal dari pelaksanaan janji itu adalah menolak calon yang disorongkan partai politik. Aneka kepentingan, yang lazim melekat pada setiap tindakan politikus, seharusnya dijauhkan dari lembaga penegak hukum itu. "Jatah" mereka untuk menempatkan wakil telah habis pada saat Jokowi menyusun kabinet, yang hasilnya diumumkan Senin lalu.
Kejaksaan Agung merupakan bagian terpenting dari wajah pemerintahan Jokowi. Lembaga ini bisa digunakan sebagai salah satu pilar dalam mengejar kesejahteraan masyarakat. Caranya, meningkatkan peran Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi sekaligus merampas hasil kejahatannya. Kita tahu, korupsi telah menjarah berbagai bidang, yang menggerus usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal pemberantasan korupsi dan perampasan hasil kejahatannya, harus diakui Kejaksaan Agung masih berada di bawah bayang-bayang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal itu setidaknya tecermin dari klaim kedua lembaga dalam penyelamatan uang negara melalui kegiatan penindakan pada 2013. Kejaksaan Agung mengklaim telah menyelamatkan Rp 402 miliar tahun lalu. Adapun komisi antikorupsi, yang strukturnya jauh lebih kecil, menyelamatkan Rp 1,96 triliun untuk waktu yang sama.
Itulah perlunya memilih figur yang andal untuk memimpin Kejaksaan. Ia harus memiliki pengetahuan, pengalaman, dan jam terbang yang tinggi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang serta perampasan aset. Jokowi sebaiknya pula mengangkat figur yang progresif. Jaksa Agung tak hanya dituntut untuk mampu melahirkan keadilan formal, tapi juga keadilan yang dirasakan masyarakat luas.
Baharuddin Lopa sepatutnya dijadikan standar Presiden Jokowi dalam memilih figur pengisi jabatan Jaksa Agung. Selain memiliki visi jelas tentang penegakan hukum, Jaksa Agung era pemerintahan Abdurrahman Wahid ini kedap dari kepentingan partai-partai politik yang menopang kekuasaan presiden ketika itu.
Dalam waktu pendek--ia wafat hanya satu setengah bulan setelah menjadi Jaksa Agung?Baharuddin Lopa meninggalkan jejak yang tegas dalam pemberantasan korupsi. Ia memenjarakan koruptor yang sebelumnya tak tersentuh hukum. Pada saat yang sama, ia meningkatkan pengejaran aset konglomerat pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Hampir mustahil mengharapkan "duplikat" Lopa muncul dari sodoran partai politik. Ia bisa didapatkan, antara lain, melalui proses rekrutmen yang transparan. Peluang ke arah itu ada dalam visi-misi pencalonan Jokowi-Jusuf Kalla untuk membuka lelang jabatan guna mengisi jabatan strategis pada lembaga penegak hukum.