TEMPO.CO, Jakarta - Bambang Arianto, Peneliti Bulaksumur Empat
Penangkapan terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Widjojanto, oleh aparat Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menjadi tanda tanya besar bagi publik. Apa gerangan yang sedang terjadi? Mengapa penangkapan itu terjadi secara kebetulan bersama kisruh antara KPK dan Polri? Disadari bila penangkapan terhadap Bambang Widjojanto berpangkal pada bola panas Jokowi, yang menetapkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri-karena terindikasi menerima hadiah dan gratifikasi.
Selepas kegaduhan itu, publik dibuat miris ketika Bambang Widjojanto dinilai memberi kesaksian palsu atas kasus pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat beberapa tahun silam. Padahal, menurut pernyataan Bupati Kotawaringin Barat Ujang Iskandar, perkara kasus saksi palsu yang diajukan rivalnya saat pemilihan kepala daerah 2010, yakni pasangan Sugianto-Eko Soemarno, sudah dicabut pelaporannya di Badan Reserse Kriminal. Mengenai saksi palsu, dia mengungkapkan, dari 68 saksi yang diajukan ke sidang sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, tidak ada satu pun yang diminta memberi keterangan palsu, baik oleh dirinya maupun kuasa hukum (Banjarmasin Post, 23/1).
Identifikasi ini semakin menegaskan bahwa penangkapan tersebut murni merupakan aksi balas dendam korps Polri terhadap institusi KPK. Apalagi, sebelumnya juga tengah beredar foto mesra Ketua KPK Abraham Samad. Hal ini diperparah oleh lemahnya dukungan politik, baik dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun dari parlemen, apalagi partai politik. Tentu saja hal ini membuat penyebab sindrom korupsi semakin menggurita. Padahal, dalam konteks ini, dukungan politik akan mampu menjadi faktor kunci dalam upaya memutus rantai sindrom amoralitas. Bahkan, bagi negara-negara yang praktek korupsinya sangat masif, dukungan politik, terutama dari kelompok kritis dan parlemen, menjadi modal utama.
Hadirnya lembaga antirasuah seperti KPK setidaknya dapat menjadi ujung tombak terpenting dalam pemberantasan sindrom korupsi, dengan catatan lembaga terkait tetap berada dalam koridor independensi, bersih, dan tentunya imparsial. Namun, dengan banyaknya pihak yang mencoba menyerang KPK, terbuktilah bahwa institusi ini tengah berada dalam situasi darurat. Padahal, mengutip Jon ST. Quah dalam Curbing Corruption in Asian Countries (2013), perjuangan lembaga antirasuah seperti KPK inilah yang mampu memberantas korupsi di Singapura dan Hong Kong.
Presiden Jokowi harus segera mengambil langkah taktis untuk penyelamatan KPK. Langkah taktis ini akan menyelamatkan KPK dari kehancuran, meskipun Jokowi masih memiliki ketergantungan yang sangat tinggi pada Megawati dan kaum oligarki. Apalagi masih lekang dalam ingatan publik betapa Presiden Jokowi kemenangannya dirayakan dengan kirab gempita oleh rakyat. Meskipun demikian, mengapa kali ini Jokowi gagal memberikan dukungan politik kepada KPK dalam mewujudkan demokrasi tanpa korupsi?
Walhasil, publik juga dituntut untuk tampil all-out memberi dukungan politik bagi upaya penyelamatan KPK. Seperti melalui tagar #SaveKPK. Ke depan, jika Jokowi tidak segera mengambil langkah penyelamatan buat KPK, bisa jadi kepercayaan publik terhadap Jokowi akan semakin tergerus-dan bukan tidak mungkin keinginan agar Jokowi mundur dari jabatan presiden akan terus bergema di republik ini.