Achmad Fauzi , Aktivis Multikulturalisme
Sejak insiden jatuhnya pesawat AirAsia PK-AXC QZ8501, awan “cumulonimbus” ramai diperbincangkan. Awan vertikal bermuatan listrik ini sangat ditakuti dunia penerbangan karena memiliki karakteristik ekstrem. Burung besi yang nekat menerabas bisa mengalami turbulensi hebat atau bahkan jatuh tersungkur.
Dalam konteks kebangsaan, praktek intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama memiliki karakteristik destruksi sama dengan awan cumulonimbus di dunia penerbangan. Intoleransi selalu menjadi persoalan klasik yang efek turbulensinya mampu merusak tatanan kebinekaan. Celakanya, negara sebagai pilot perjalanan bangsa tidak sekadar absen menyikapi intoleransi, tapi juga terlibat langsung sebagai pelaku. Keterlibatan oknum negara dalam praktek intoleransi tersebut tergambar dalam laporan tahunan The Wahid Institute tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan serta Intoleransi di Indonesia 2014.
Salah satu kasus yang mengkonfirmasi keterlibatan aktor negara adalah soal sengketa tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor. Kasus ini telah diputus oleh Mahkamah Agung, tapi terjadi pembangkangan hukum oleh pemerintah setempat dengan menyegel gereja tersebut. Akibatnya, jemaat GKI Yasmin Bogor harus “mengemis” kepada kepolisian untuk meminta pengamanan dalam setiap perayaan Natal. Dalam lima tahun terakhir nasibnya terkatung-katung tidak bisa merayakan Natal dengan tenang di gerejanya sendiri.
Defisit kenegarawanan yang dipertontonkan oleh segelintir elite tentu menjadi persoalan serius. Alih-alih menyadari keberadaan aneka suku, agama, dan kebudayaan yang sebagai penopang kelanggengan berbangsa. mereka justru menciptakan “cumulonimbus” bagi minoritas. Tidak ada keberpihakan dan tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus pelanggaran kebebasan beragama.
Sebagai misal, sudah sejak dulu Jawa Barat menjadi lokus pelanggaran paling dominan. Menurut The Wahid Institute, dari 55 aksi intoleransi, 36 pelanggaran dilakukan pemerintah daerah ataupun penegak hukum. Bahkan hampir setiap tahun Provinsi Jawa Barat sering dinobatkan sebagai “jawara” praktek intoleransi. Namun pemerintah tidak menjadikan temuan ini sebagai bahan kajian untuk mengambil keputusan. Pemetaan sumber potensi konflik dan proses analisis sebab konflik penting diketahui. Tanpa hal itu, pengenalan karakter kekerasan terstruktur tidak dapat diselesaikan secara komprehensif.
Kita acap menahbiskan diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemajemukan dan menempatkan hukum di atas segalanya. Namun, dalam prakteknya, masih dijumpai bentuk pembiaran intoleransi terjadi kepada kelompok minoritas. Jaminan ketenangan dalam menjalankan ibadah yang dijamin konstitusi hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki kedudukan penting bagi kelanggengan kekuasaan.
Sengkarut pertikaian dan tirani minoritas harus disikapi dengan membuka ruang aspirasi bagi kelompok-kelompok kecil seperti jemaat GKI Yasmin, Ahmadiyah, Syiah, Ahlul Bait Indonesia, dan Majelis Bahai Indonesia, yang notabene sering menjadi obyek intoleransi dan politik diskriminasi. Hanya dengan demikian “cumulonimbus” kebangsaan tidak menggumpal menjadi kemelut yang membuyarkan peta pluralisme.