Kisruh pemilihan pimpinan komisi Dewan Perwakilan Rakyat yang berujung lahirnya pimpinan DPR tandingan sangat tidak produktif dan patut disesalkan. Jika politikus Senayan tak segera mencapai kesepakatan, kekisruhan itu bisa menyandera pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dalam waktu dekat, banyak agenda yang harus diselesaikan pemerintah bersama DPR. Pada Januari tahun depan, pemerintah dan DPR harus membahas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah. Lalu, pada Maret, kajian Rancangan APBN 2015 sudah menunggu. Bila virus "menang-kalah" terus menjangkiti politikus Senayan, Presiden Jokowi akan kesulitan menjalankan berbagai program prioritasnya.
Jurus sapu bersih yang diperagakan koalisi pro-Prabowo Subianto dalam memborong kursi pimpinan komisi DPR jelas mengabaikan realitas pilihan politik di masyarakat. Pada pemilihan legislatif yang lalu, rakyat telah memutuskan PDI Perjuangan sebagai pemenang. Kemudian, mayoritas pemilih juga telah menahbiskan Jokowi sebagai Presiden. Ironisnya, gara-gara gagal melobi koalisi pro-Prabowo, koalisi pro-Jokowi tak meraih satu pun kursi pimpinan di parlemen. Setelah memborong lima kursi pimpinan DPR, koalisi pro-Prabowo pun menyikat semua paket pimpinan 11 komisi di DPR.
Pangkal kekisruhan ini tak lepas dari kegagalan koalisi fraksi pendukung Jokowi dalam mengawal lahirnya Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Dalam dua siklus pemilu sebelumnya, kursi pimpinan DPR otomatis menjadi hak partai pemenang pemilu secara proporsional. Lewat Undang-Undang MD3 pengganti itu, kursi pimpinan DPR diperebutkan lagi dengan sistem paket.
Sulit membantah bahwa Undang-Undang MD3 memang dirancang untuk kepentingan mayoritas pembuat undang-undang-bukan untuk kepentingan rakyat kebanyakan. Faktanya, Undang-Undang MD3 disahkan sehari sebelum pemilu presiden, ketika koalisi pro-Prabowo berusaha mengantisipasi kekalahan total mereka. Undang-undang semacam ini jelas cacat secara etika politik.
Sejauh ini, sistem paket yang diatur Undang-Undang MD3 terbukti hanya mengobarkan pertarungan politik "menang-kalah". Ruang musyawarah tertutup. Permufakatan semu hanya bisa terjadi di antara sesama anggota satu koalisi. Dengan koalisi lawan, nyaris tak ada ruang berbagi pendapat.
Sistem paket juga telah merampas hak otonom setiap anggota DPR. Para legislator tak bisa lagi memilih pimpinan berdasarkan hati nurani mereka. Kalaupun pimpinan DPR ditentukan lewat pemilihan (voting) tertutup, anggota DPR hanya bisa memilih calon yang ditunjuk fraksi. Walhasil, penerapan sistem "one man one vote" pun tak punya signifikansi lagi.
Agar kisruh tak berkepanjangan, tak ada pilihan lain, kedua kubu harus duduk bersama membuka lagi pintu musyawarah. Berkukuh pada posisi masing-masing hanya memboroskan energi. Harus diingat, dalam sistem pemerintahan kita, posisi DPR bukan monster yang setiap saat bisa menyandera pemerintah. Lembaga legislatif semestinya menjadi penyeimbang yang sehat agar eksekutif bisa bekerja dan bekerja.