Kegesitan pilot-pilot TNI AU menyergap pesawat asing yang masuk wilayah Indonesia tanpa izin dalam sepekan terakhir patut dipuji. Ini menunjukkan skuadron pesawat tempur kita, yang telah dimodernisasi dengan jet Sukhoi, menjalankan tugasnya dengan baik. Namun, di sisi lain, insiden penerobosan wilayah udara ini juga menimbulkan pertanyaan: mengapa begitu mudah kita melepaskan para penerobos? Tak pernah ada hukuman yang cukup berat bagi mereka, meski dasar hukumnya sudah ada.
Masuknya pesawat asing ke wilayah udara kita bukan perkara baru. Dalam setahun, puluhan insiden serupa terjadi. Sebagian besar penyusup berhasil dihalau oleh pengelola lalu lintas udara. Hanya sebagian kecil yang mesti disergap dan dipaksa mendarat. Dan memang, tiga penyergapan sekaligus dalam sepekan ini agak istimewa. TNI AU seperti sedang memamerkan kemampuannya melakukan penyergapan kepada pemerintah baru Presiden Joko Widodo.
Umumnya, insiden penerobosan berakhir tanpa ribut-ribut. Prosedur yang biasa digunakan adalah mengharuskan pilot yang dipaksa mendarat segera membereskan perizinan. Selain itu, sesuai dengan ketentuan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, mereka harus membayar denda. Jumlahnya sangat kecil, Rp 60 juta per pesawat. Angka ini sesungguhnya tak sebanding dengan biaya meluncurkan dua jet Sukhoi penyergapnya. Dalam kasus penerobos adalah pesawat militer, yang lazim dilakukan adalah mengirim nota protes ke negara asal pesawat tersebut.
Ringannya hukuman bagi penyusup itulah salah satu penyebab pilot pesawat asing menganggap enteng urusan penerobosan wilayah udara Indonesia. Membayar denda hanya Rp 60 juta pasti bukan masalah bagi mereka. Denda yang terlalu ringan juga membawa efek lebih buruk, yaitu kita seolah menempatkan urusan kedaulatan negara seperti polisi memperlakukan pengendara mobil yang melanggar rambu lalu lintas. Penerobos cukup didenda karena ulah mereka hanya dianggap sebagai tindak pidana ringan.
Sikap terlalu lunak ini tak boleh dibiarkan. Pelanggaran wilayah udara adalah pelanggaran kedaulatan. Ini kategori pelanggaran serius. Sudah waktunya pemerintah bersikap lebih keras. Dasar hukum untuk tindakan tegas ini pun sudah ada. Pasal 414 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan, awak pesawat asing yang terbang di wilayah Indonesia tanpa izin diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar.
Sanksi itu pun masih bisa diperberat dengan penerapan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Undang-undang ini memberi ancaman hukuman penjara 5 tahun atau denda Rp 500 juta bagi orang asing yang masuk wilayah Indonesia tanpa dokumen sah.
Pemerintah Indonesia tak perlu ragu menerapkan ketentuan keras dan tegas ini. Sikap tegas makin mendesak karena sebentar lagi kita memasuki masa ASEAN Open Sky Policy, yaitu saat wilayah udara kita harus lebih terbuka kepada maskapai asing. Terbukanya wilayah udara membutuhkan aturan dan regulasi pendukung yang lebih tegas.