Ambruknya jembatan Gedung Arsip Daerah Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat pekan lalu, menambah panjang daftar proyek pemerintah yang gagal di tengah jalan. Kelalaian akibat ketiadaan penyangga jembatan itu harus dibayar amat mahal. Empat nyawa melayang serta lima orang terluka tatkala struktur jembatan setinggi 9 meter itu roboh.
Investigasi polisi dan telaah auditor Kementerian Pekerjaan Umum-- berdasarkan olah tempat kejadian perkara--masih berlangsung. Tapi satu kesimpulan sudah bisa dipetik: peristiwa nahas ini tak akan terjadi bila perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan dilakukan dengan cermat sejak awal.
Pembangunan jembatan adalah kerja konstruksi yang wajib "memenuhi aspek keteknikan, keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja". Begitulah amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi--seperti tercatat dalam ayat 2 pasal 23. Fakta bahwa konstruksi ambrol hanya sehari setelah dicor jelas-jelas menabrak syarat keamanan, keselamatan kerja, serta aspek teknisnya.
Klaim PT Cipta Rancang Mandiri, pengawas proyek, bahwa tak ada pelanggaran prosedur dalam pengerjaan konstruksi, sungguh memprihatinkan. Klaim itu juga menerbitkan pertanyaan serius: kualitas pengawasan macam apa yang diterapkan sehingga proyek yang baru 20 persen berjalan ini sampai makan banyak korban?
Perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang baik adalah keniscayaan dalam jasa konstruksi. Sayangnya, pemerintah DKI tampaknya tak cukup serius memetik pelajaran dari peristiwa serupa sebelumnya. Pada 19 September 2013, tangga utama Gelanggang Remaja di Jalan Balai Rakyat Koja, Jakarta Utara, ambruk saat pengecoran, dengan 11 korban terluka. Kecelakaan serius juga terjadi pada 23 Desember 2009 tatkala toilet tambahan yang sedang dibangun di Pusat Grosir Metro Tanah Abang runtuh, menyebabkan dua korban tewas dan melukai sembilan pekerja. Rontoknya jembatan di TIM adalah peringatan kesekian bagi pemerintah DKI Jakarta untuk hanya memilih mitra yang akuntabel dalam setiap proyek di Ibu Kota.
Undang-Undang Jasa Konstruksi memang menetapkan kegagalan bangunan menjadi tanggung jawab pihak kontraktor. Tapi Dinas Pekerjaan Umum DKI tentu tak bisa lepas tanggung jawab. Tugas pokok Dinas merujuk pada pelaksanaan, pembinaan, serta pengaturan prasarana dan sarana kota, termasuk jembatan. Hal ini ditegaskan kembali oleh Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 118 Tahun 2009: salah satu tugas utama Dinas PU adalah mengawasi jaringan utilitas, antara lain jalan dan jembatan.
Hasil investigasi kasus Jembatan Arsip tak boleh berhenti pada menyeret yang bersalah ke pengadilan. Harus ada perbaikan serius dalam perencanaan hingga pengawasan atas setiap proyek pemerintah Jakarta untuk mencegah mala serupa di masa mendatang.