Walau sudah beberapa kali berganti rezim, sebetulnya pemerintah tak pernah serius melakukan reformasi birokrasi. Jumlah pegawai negeri terus membengkak, tapi banyak program pemerintah jalan di tempat. Langkah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi melakukan moratorium penerimaan calon pegawai negeri sipil patut didukung.
Moratorium yang akan dimulai pada 2015 itu, bila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bisa menjadi obat cespleng bagi birokrasi kita yang terkenal amat berlemak dan lamban bergerak. Khalayak sangat berharap janji Menteri Yuddy itu bukan sekadar retorika, melainkan dijalankan dengan sungguh-sungguh selama lima tahun. Sebab, hampir di setiap awal pemerintahan baru selalu muncul janji melakukan moratorium penerimaan calon pegawai negeri. Namun janji tinggallah janji. Pemerintah kemudian melanggar janjinya dengan mudah. Itulah yang terjadi pada 2011. Saat itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji melakukan moratorium. Selang setahun kemudian, pemerintah justru merekrut 60 ribu pegawai negeri.
Kesalahan serupa semestinya tidak diulangi Presiden Joko Widodo. Betapa tidak produktifnya kinerja pegawai negeri sudah sangat kasatmata. Dalam berbagai inspeksi mendadak, kerap ditemui banyak pegawai negeri hanya duduk menganggur, baca koran, atau main game komputer. Kantor pemerintahan juga sering kosong meski waktu pulang belum tiba. Rata-rata produktivitas pegawai negeri kalah telak dibanding karyawan swasta.
Melihat keadaan tersebut, sulit memahami logika beberapa kepala daerah yang memprotes pemberlakuan moratorium penerimaan pegawai negeri. Gubernur Jawa Timur Soekarwo, misalnya, menolak langkah Menteri Yuddy karena provinsinya membutuhkan 12 ribu pegawai baru. Apakah Soekarwo tak melihat betapa banyak pegawai negeri di daerahnya yang makan gaji buta? Keadaan itulah yang membuat anggaran pembangunan Indonesia banyak tersedot untuk membayar gaji pegawai. Riset oleh lembaga nirlaba Asia Foundation menunjukkan banyak daerah menghabiskan dana alokasi umum (DAU) hanya untuk membayar pegawai. Pada 2008, 69 persen dana alokasi umum dihabiskan untuk pegawai, sedangkan pada 2011 proporsi itu melonjak, 88 persen anggaran dihabiskan untuk pegawai. Jika anggaran habis hanya untuk membayar pegawai, bagaimana pemerintah akan menggenjot pembangunan infrastruktur, sekolah, atau rumah sakit?
Dengan moratorium, pemerintah bisa mengevaluasi efektivitas jumlah dan kinerja pegawai negeri yang ada. Protes-protes dari kepala daerah patut didengarkan tapi tak harus diikuti. Pemerintah perlu mempertimbangkan banyak faktor untuk mengetahui jumlah pegawai negeri yang tepat, misalnya tingkat produktivitas serta rasio jumlah pegawai negeri dibanding jumlah penduduk.
Yang juga perlu diingat, moratorium hanyalah pintu masuk untuk membenahi birokrasi. Pemerintah mesti merancang program reformasi birokrasi lainnya, seperti perbaikan produktivitas dan pemberian remunerasi. Hanya dengan cara itulah birokrasi kita akan efisien, sehingga program pemerintah bisa melaju kencang. (*)