Muhammadun, Guru dan Kaum Muda NU
Pada 31 Januari 2015, Nahdlatul Ulama (NU) memperingati hari lahir ke-89 tahun. Berdiri pada 31 Januari 1926, NU berdiri dalam gerak dua arah: jam'iyyah dan jama'ah. Pada level jam'iyyah, NU mengembangkan diri sebagai organisasi dengan standar pengelolaan untuk menjawab tantangan zaman. Sedangkan pada level jama'ah, NU adalah barisan kultural umat Islam yang setia menjaga tradisi. Tradisi yang sinergis dengan nilai agama, nasionalisme, dan berdiri paling depan membela tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Gerak dua arah ini selalu menghadirkan beragam peluang sekaligus jebakan buat NU. Kalau terseret arus politik oportunis, NU bisa menjadi malapetaka. Tapi, kalau NU teguh menjaga prinsipnya, lahirlah gelora perjuangan. Tarik-menarik tentu saja sering terjadi, tapi untung saja NU selalu kembali kepada garis perjuangannya, yakni Khittah 1926. Dalam Khittah 1926 inilah, NU mesti menoleh ke jejak H. Hasan Gipo-salah satu tokohnya-seorang aktivis-saudagar yang menjadi Ketua Umum PBNU pertama.
Hasan Gipo merupakan orang yang pertama kali mendampingi KH Hasyim Asy'ari dalam memimpin NU. Karena itu, jejak Hasan Gipo menjadi salah satu tonggak berdirinya NU dan inspirasi gerakan NU dalam menjawab berbagai persoalan zaman. Sadar bahwa warga NU banyak berada di lapisan masyarakat desa, ketika memimpin NU (1926-1939), ia selalu memelihara kemandirian warga NU. Ia menggerakkan NU dengan semangat kemandirian, tak mau berada dalam ketiak kolonial. Makanya, NU saat itu selalu berhadapan dengan penjajah.
Hasan Gipo tidak mau tinggal diam untuk membangun NU. Makanya, ia banyak mendirikan syirkah (perserikatan) usaha bagi warga NU. Semangat wirausaha digelorakan, roda organisasi berjalan dengan baik, dan tak pernah membuat "proposal" kepada kolonial. Pada 1935, Hasan Gipo mengimpor sepeda ontel dari Eropa. Selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, sepeda ontel dimaksudkan sebagai penguat sarana transportasi warga NU dalam mengelola organisasi.
Saat itu, sepeda ontel tidak sekadar menggerakkan rutinitas keagamaan, tapi juga menggerakkan rakyat menentang penjajah. Dalam berbagai pertemuan syirkah dan rutinitas NU, Hasan Gipo selalu mengajarkan kemandirian. Ia berkeliling ke pelosok-pelosok bersama KH Wahab Hasbullah, menggelorakan semangat perjuangan melawan kolonial. Dengan bersepeda ontel, ia membangun jaringan, memetakan basis rakyat, bergerak cepat menyusun strategi, dan menyuarakan keberanian dalam melangkah menuju masa depan.
Kecerdasan memanfaatkan sarana transportasi sepeda bukan sekadar program bisnis semata, melainkan juga sebagai agenda perjuangan. Inilah yang mesti dipahami dengan saksama. Bangsa ini harus mampu menangkap pesan zaman, jangan sampai terjajah oleh teknologi dan alat transportasi. Bangsa ini harus mandiri, dan NU harus siap berdiri paling depan membela harkat dan martabat rakyat bawah sebagaimana dijalankan Hasan Gipo.
Kini, sepeda ontel bisa jadi hanya alat transportasi biasa. Tapi bisa jadi justru mengilhami gerakan baru NU dan Indonesia dalam memaknai beragam gerakan politik yang melumpuhkan kemandirian bangsa. NU lahir bukan untuk "dijual", melainkan sebagai alat perjuangan buat membangun bangsa tercinta ini.