TEMPO.CO, Jakarta - Toto Subandriyo, penulis
Pada 8 Januari 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015 yang dikenal nelayan sebagai Permen Cantrang. Permen tersebut mengatur tentang pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Permen ini menuai kontroversi. Gelombang demonstrasi nelayan yang pro dan kontra merebak di sejumlah daerah hingga kini.
Cantrang adalah nama dari salah satu alat penangkapan ikan yang saat ini banyak digunakan para nelayan, terutama nelayan di sepanjang Pantai Utara Jawa. Alat penangkapan ikan ini termasuk jenis pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Alat penangkapan ikan sejenis cantrang yang juga banyak digunakan nelayan adalah dogol (danish seines), payang, dan lampara dasar. Selain itu, nelayan kita banyak menggunakan alat penangkapan ikan jenis pukat hela.
Memang, berbagai gebrakan langsung dilakukan oleh Menteri Susi, antara lain menenggelamkan kapal pencuri ikan. Berbagai regulasi dan peraturan pun dikeluarkan dan tak sedikit di antaranya menuai kontroversi dari berbagai kalangan.
Secara normatif, aktivitas penangkapan ikan menggunakan pukat hela dan pukat tarik, termasuk aktivitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat penangkapan ikan jenis itu mengakibatkan menurunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan. Karena itu, aktivitas manusia (antrophogenic causes) yang berpotensi merusak kelestarian sumber daya ikan, baik langsung maupun tidak langsung, harus dihentikan.
Sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan FAO, ada sembilan karakteristik alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Antara lain (1) mempunyai selektivitas tinggi, (2) tidak merusak habitat, (3) menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi, (4) tidak membahayakan nelayan, (5) produksi tidak membahayakan konsumen, (6) hasil tangkapan sampingan (by-catch) rendah, (7) dampak terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) rendah, (8) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, dan (9) tidak membahayakan nelayan.
Namun semua pihak harus bijak menyikapi pendapat pro dan kontra ini. Bagaimanapun perilaku nelayan yang cenderung destruktif dalam menangkap ikan ini sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang membelit sebagian besar nelayan. Karena itu, solusi permasalahan ini harus menyentuh substansi dan akar permasalahannya, yaitu kemiskinan.
Upaya pengentasan kemiskinan nelayan dilakukan melalui diversifikasi usaha dengan memberikan pelatihan usaha ekonomi produktif di luar usaha pokok menangkap ikan. Pemberian stimulan modal sangat dibutuhkan untuk memulai usaha tersebut, termasuk bantuan modal untuk penggantian alat tangkap yang ramah lingkungan. Akses kredit mikro bagi wanita nelayan juga diyakini bisa membantu mengentaskan keluarga nelayan dari kubangan kemiskinan.
Karena menyangkut masalah isi perut jutaan nelayan dan keluarganya, pemberlakuan Permen Cantrang harus dipertimbangkan secara matang. Selain membutuhkan biaya cukup besar, penggantian alat tangkap memerlukan waktu cukup lama dan memerlukan keahlian yang cukup. Nah, di sinilah kearifan kita semua sedang diuji.