Agar tak menjadi pelanduk yang mati di tengah-tengah, Indonesia harus memahami kekuatan sendiri ketika menghadapi kontestasi Amerika-Cina yang semakin panas. KTT APEC di Cina yang baru berakhir kental dengan nuansa menggantikan ketegangan dengan kerja sama di kawasan Asia-Pasifik. Inilah kawasan yang sangat menjanjikan, tapi juga sarat potensi konflik. Namun, dalam perkembangannya, persaingan dua adikuasa--Cina dan Amerika--juga antara Cina dan negara-negara ASEAN, semakin tajam.
Dalam pertemuan tingkat tinggi para kepala negara itu, optimisme Presiden Joko Widodo menyembul. Dari sesi foto bersama yang mendudukkan Jokowi pada posisi diapit dua presiden, yakni Presiden Amerika Barack Obama dan Presiden Cina Xi Jinping, muncul wacana "poros tengah" . Wacana yang menyimbolkan Indonesia yang netral, tidak berpihak ke Amerika ataupun Cina, melainkan berdiri di antara keduanya.
Sesungguhnya Indonesia bukanlah pelanduk yang bakal menjadi korban perkelahian kedua gajah itu. Indonesia tidak masuk gelanggang dengan tangan hampa. Dengan posisi lautnya yang luar biasa strategis, pertumbuhan konsumen kelas menengahnya yang menakjubkan, dan peluang investasi pembangunan infrastruktur yang besar, sebenarnya Indonesia bisa berkata banyak.
Jokowi menafsirkan sesi foto itu dengan nada optimistis: Indonesia telah menjadi "rebutan" dua raksasa. Namun mengambil kesimpulan seperti ini bisa juga berarti mengecilkan tuan rumah Cina. Bukankah posisi para kepala negara dalam sesi foto diatur dan diputuskan protokoler Cina? Jadi, bukan tak mungkin Cina-lah yang membutuhkan Indonesia sebagai negara ketiga yang dapat berperan sebagai "medium" tatkala hubungannya dengan Amerika menemui jalan buntu.
Tentu, ada perbedaan besar antara Indonesia yang tengah tumbuh berkembang dan adidaya Amerika Serikat. Namun, sejak pekik reformasi mengudara pada 1998 dan Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar kelima di dunia, kesenjangan Amerika Serikat-Indonesia perlahan-lahan menyurut. Hal ini terjadi paling tidak pada satu hal, yaitu keduanya ber-"bahasa" yang sama: demokrasi. Berbeda dengan Indonesia, demokratisasi yang terjadi di Cina berawal dari puncak pemerintahan (top-down) dan sudah pasti mengandung banyak kepentingan elite. Amerika, misalnya, terus curiga terhadap pemberantasan korupsi di Cina, kendati Cina-lah yang telah mengusulkan deklarasi antikorupsi dalam KTT APEC barusan. Amerika masih menganggap pemberantasan korupsi di Cina "tebang pilih".
Satu lagi, Cina juga dapat mengharapkan uluran tangan Indonesia untuk menjadi "penengah" di kala hubungannya dengan negara-negara ASEAN yang ikut mengklaim Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan memburuk. Indonesia bisa menjadi "jangkar stabilitas" yang menentukan di kawasan ini.
Indonesia dapat memainkan peran lebih besar di ASEAN. Namun semua ini harus berpulang pada pertimbangan ada-tiadanya kepentingan nasional dalam menjalankan peran sebagai mediator. Tanpa kepentingan nasional yang terakomodasi, kita hanya mengulang kegagalan proyek mercusuar dulu.