Sungguh mencemaskan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diberlakukan pada awal tahun depan. Merujuk berbagai survei ekonomi dan bisnis yang dilakukan sejumlah lembaga internasional, Indonesia tampaknya hanya siap menjadi pasar.
Perdagangan bebas sesungguhnya bukan hal baru bagi Indonesia. Dibanding negara ASEAN lainnya, Indonesia bisa dibilang sebagai negara yang paling liberal. Nyaris tak ada sektor yang diharamkan untuk pemain asing. Sektor penting seperti perbankan dan pertanian sudah lama terbuka bagi investasi asing.
Terminologi "hanya menjadi penonton belaka" mungkin terlalu merendahkan. Tapi Indonesia diyakini akan ngos-ngosan menghadapi kompetisi dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan mungkin juga Vietnam. Berbagai survei itu menunjukkan bahwa Indonesia dianggap masih berada di bawah tiga negara ASEAN tersebut.
Dalam persepsi kalangan investor dan perusahaan asing, Indonesia dinilai kalah bersaing dibanding negara tetangga. Peringkat tiga negara tadi, juga Vietnam dan Filipina, hampir selalu di atas Indonesia. Parameter itu antara lain daya saing, praktek bisnis yang ramah (doing business), biaya logistik, dan produktivitas sumber daya manusia.
Yang paling menyesakkan adalah parameter sumber daya manusia. Menurut ASEAN Productivity Organization, dari seribu tenaga kerja Indonesia, hanya 4,3 persen yang terampil. Bandingkan dengan Filipina yang mencapai 8,3 persen, atau Malaysia yang sudah di angka 32,6 persen, dan Singapura 34,7 persen.
Kekalahan ini sesungguhnya bukan sekadar dalam survei. Pada kenyataannya, Indonesia memang kalah bersaing. Di sektor otomotif, misalnya, Indonesia masih di bawah Thailand. Indonesia juga kalah kelas dibanding Singapura dan Malaysia di sektor perbankan, atau dengan Filipina dalam hal ekspor tenaga kerja.
Selain itu, modal Indonesia untuk bersaing masih "terbatas" pada sektor primer, seperti perkebunan dan tambang. Celakanya, dalam tiga tahun terakhir, harga komoditas cenderung turun. Sebaliknya, Malaysia dan Thailand mengandalkan sektor industri pengolahan, serta Singapura dan Filipina di sektor jasa, yang memiliki nilai tambah tinggi.
Apalagi pertumbuhan industri pengolahan di Indonesia stagnan. Bahkan para ekonom sepakat Indonesia sedang menghadapi fase deindustrialisasi. Banyak perusahaan tutup atau merelokasi pabriknya. Sumbangan manufaktur pada Produk Domestik Bruto Indonesia mandek di angka 23 persen, sementara Malaysia sudah di kisaran 48 persen.
Karena itu, Presiden Joko Widodo harus bergegas membenahi berbagai kelemahan, terutama infrastruktur dan ekonomi biaya tinggi. Dua hal itu sangat penting untuk menarik investasi asing dan domestik. Perubahan arah investasi Jepang dari Cina ke ASEAN, misalnya, harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk membangkitkan kembali sektor industri.
Penampilan menarik Presiden Joko Widodo di berbagai forum internasional dalam sepekan terakhir tak akan ada gunanya jika hanya berhenti dalam presentasi belaka. Konsep tol laut, poros maritim, dan seterusnya harus segera direalisasi untuk memecahkan kebuntuan selama satu dekade terakhir. *