Penolakan terhadap pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota merupakan manuver sia-sia. Basuki alias Ahok memiliki pijakan kuat untuk menduduki posisi yang ditinggalkan Joko Widodo ini.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI pun telah mengumumkan surat Menteri Dalam Negeri mengenai pengangkatan Basuki dalam rapat paripurna. Kendati pleno tidak dihadiri partai-partai di bawah koalisi Prabowo, seremoni ini tetap dianggap sah karena bukan untuk mengambil keputusan. DPRD hanya mengusulkan kepada Presiden untuk mengesahkan pengangkatan Ahok sebagai gubernur.
Ahok berhak atas jabatan itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 203 perpu ini menyatakan pengisian kekosongan jabatan gubernur yang diangkat berdasarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menggunakan mekanisme undang-undang ini.
Nah, Undang-Undang Pemerintahan Daerah menyatakan, wakil kepala daerah otomatis menggantikan kepala daerah yang berhenti hingga habis masa jabatannya. Polemik mengenai masalah ini hanya menghabiskan waktu lantaran ketentuan tersebut cukup gamblang. Tak diperlukan pula fatwa Mahkamah Agung, karena pasal itu tidak membingungkan, kecuali bila sengaja dibuat kabur demi manuver politik.
Kini Gubernur Ahok tinggal menanti pengesahan jabatan barunya dari Presiden Joko Widodo dan proses pengisian jabatan wakil gubernur-posisi yang ditinggalkannya. Ia perlu mengusulkan wakil gubernur yang bisa meringankan tugasnya. Ahok pun mesti segera memperlihatkan kinerjanya untuk membenahi Ibu Kota. Soalnya, ketidakberhasilan dalam urusan ini tentu akan dijadikan bahan serangan oleh partai-partai penentangnya di DPRD.
Partai politik penyokong Ahok-PDI Perjuangan, NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Hanura--sebetulnya memiliki jumlah kursi yang cukup besar di DPRD DKI. Total mencapai 49 kursi. Hanya, angka ini belum bisa menandingi koalisi Prabowo, yang punya 57 kursi. Koalisi Prabowo beranggotakan Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional.
Ahok bisa memanfaatkan popularitasnya di masyarakat buat meredam tekanan Dewan seperti yang dulu dilakukan Gubernur Jokowi. Lewat "koalisi dengan masyarakat", Jokowi lolos dari gangguan yang berarti dari para politikus di DPRD. Padahal saat itu Jokowi-Ahok cuma disokong PDI Perjuangan dan Gerindra. Kedua partai ini hanya memiliki kursi 17 dari 94 kursi DPRD DKI.
Manuver mengusik Ahok, yang diperkirakan akan terus berlangsung, juga mudah dijinakkan bila sang gubernur mampu menjalankan program konkret yang langsung dinikmati masyarakat. Setidaknya, upayanya yang serius untuk mengatasi persoalan terlihat oleh rakyat. Misalnya membantu kalangan miskin, mencegah banjir, dan mengurangi kemacetan. Resep yang berhasil diterapkan oleh Jokowi ini bisa ditiru oleh gubernur baru.