Kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter yang berlaku mulai kemarin akan menghemat subsidi. Anggaran negara jauh lebih sehat. Presiden Joko Widodo bisa mengalihkan subsidi itu untuk kegiatan yang lebih produktif. Tapi pemerintah tetap harus memecahkan masalah energi.
Indonesia kini tengah menghadapi kekurangan pasokan BBM. Impor minyak mentah dan BBM terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Jumlah shortage akan kian besar pada masa-masa mendatang akibat pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor yang sulit dibendung. Ada tambahan lebih dari sejuta mobil dan hampir 8 juta sepeda motor per tahun. Peningkatan konsumsi listrik juga fantastis, lebih dari 7 persen per tahun. Kenaikan ini tentu tak bisa dihentikan, karena akan mengganggu laju perekonomian.
Sebaliknya, produksi minyak mentah terus menurun. Jika pun ada peningkatan, jumlahnya tak signifikan. Indonesia bisa saja mengandalkan Cepu, tapi produksi ladang minyak ini tak kunjung mencapai peak (puncak). Tambahan dari bekas ladang-ladang minyak yang disedot lagi pun tak cukup besar.
Tak ada pilihan selain mengembangkan energi alternatif. Biofuel atau biosolar tak bisa diandalkan. Harga komoditas yang naik-turun mengakibatkan para petani pemasok bahan biofuel juga enggan menanam bahan baku biofuel, seperti kelapa sawit atau jarak pagar. Harga keekonomiannya sulit dicapai.
Satu-satunya yang paling mungkin adalah gas. Cadangan gas kita diperkirakan bisa diproduksi sampai 59 tahun. Indonesia bisa mencontoh India, yang dapat memecahkan sebagian masalah energi. Negara itu sukses menjalankan program konversi energi untuk transportasi. Mobil-mobil di sana sudah mengganti bahan bakarnya dengan CNG (compressed natural gas).
Banyak keuntungan yang diperoleh dari penggunaan gas. Harganya sangat murah. Harga CNG di Indonesia hanya berkisar Rp 3.200 per liter setara Premium. Emisi gas buangnya pun sangat rendah. Lapangan gas Indonesia juga tersebar merata di seluruh Indonesia, sehingga bisa menghilangkan kendala pengangkutan.
Sayangnya, program konversi energi ini mandek. Program ini sudah dicanangkan sejak akhir 1980-an, tapi jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas di Indonesia hingga kini tak lebih dari 20 buah. Pada pertengahan 1990-an, taksi diminta memakai gas. Namun kemudian satu per satu kembali memakai Premium. Belakangan, bus kota juga harus memakai gas, tapi SPBG terbatas.
Harus diakui, memang masih banyak kendala untuk menghidupkan kembali program konversi energi, mulai dari hulu (pasokan gas) sampai hilir (SPBG). Tapi Presiden Jokowi memiliki modal cukup besar. Penghematan pasca-kenaikan harga BBM sebesar Rp 120 triliun itu semestinya bisa dialokasikan untuk program konversi.
Jika ingin meninggalkan warisan yang dikenang orang, Jokowi-Kalla harus memulainya dari sekarang. Lima tahun bukan waktu yang panjang untuk program raksasa seperti konversi energi.*