Tawuran yang dipicu oleh sebuah cuitan di Twitter membuat banyak orang terperangah. Apalagi perkelahian ini menimbulkan korban meninggal. Pendidikan di sekolah menengah mesti dibenahi. Upaya melarang mereka berkelahi tak akan berhasil jika pendidikan semata-mata berorientasi pada nilai ujian.
Perkelahian antara murid SMA 109 dan SMA 60 Jakarta di Jakarta Selatan itu menewaskan Andi Audi Pratama, seorang pelajar. Tawuran itu diperkirakan pecah karena provokasi akun Twitter @JalurSMA yang kerap digunakan untuk meledek dan memanas-manasi pelajar sekolah lain.
Beberapa saat sebelum tawuran, pemilik akun @JalurSMA mencuitkan provokasi. Mereka memberi selamat kepada Psycho?sebutan mereka untuk pelajar SMA 60?karena berhasil mengalahkan Sersan 109 (pelajar SMA 109) dalam sebuah tawuran. Tweet itu memancing tweet war di antara pelajar kedua SMA. Ujungnya, mereka bersepakat menggelar tarung ulang. Akibat perkelahian kedua inilah Andi, siswa SMA 109, meninggal.
Polisi berusaha mencari pemilik akun @JalurSMA, meski belakangan akun itu berubah nama dan menghapus semua tweet mereka. Tindakan polisi sudah tepat karena pemilik akun yang memprovokasi para pelajar untuk berkelahi itu wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hanya, pemblokiran akun itu?jika tidak dinonaktifkan oleh pemiliknya?bukanlah solusi utama. Sebab, mereka bisa membuat akun lain dan melakukan hal yang sama. Setidaknya ada empat akun lain di Twitter yang melakukan hal yang kurang-lebih sama dengan apa yang dilakukan oleh @JalurSMA: memprovokasi, menjadi saluran untuk janji tawuran, dan kanal untuk gagah-gagahan para pemenang.
Media sosial daring cuma bentuk lain dari pemancing tawuran. Dulu, sebelum media sosial online ada, mereka bisa terpancing hanya karena grafiti nama kelompok mereka pada sebuah tembok dihapus atau ditimpa oleh grafiti nama kelompok lain. Provokasi dan upaya memanas-manasi juga kerap dilakukan para alumnus secara langsung dengan mendatangi tempat-tempat adik kelas mereka nongkrong. Media sosial hanya memudahkan provokasi ini.
Yang mesti dipertanyakan: kenapa mereka bisa begitu mudah terpancing oleh provokasi, baik lewat Internet maupun tidak? Ibarat petasan, sumbu para pelajar ini terlalu pendek. Kemarahan mereka begitu mudah terpicu. Hal ini tidak mungkin diselesaikan dengan imbauan. Kami yakin tak ada sekolah yang tidak melarang murid-muridnya berkelahi. Di setiap upacara bendera pada Senin pagi, hal ini pasti kerap disinggung.
Pencegahan ini hanya dapat dilakukan jika kita membenahi pendidikan kita, mengubah fokusnya dari penekanan pada pengetahuan dan pencapaian nilai ujian yang bagus menjadi penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Dari mencetak para pekerja menjadi mencetak manusia berkarakter mulia. Selama ini kita terlalu berorientasi pada nilai ujian. Pelajaran agama dan moral hanya didiktekan dan dihafalkan demi bisa menjawab soal ujian dengan tepat, sehingga siswa kehilangan kepekaan sosialnya.