Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo soal kartu tanda penduduk elektronik amat mengagetkan. Ia menyebutkan bahwa server yang digunakan untuk menyimpan data 250 juta penduduk Indonesia disimpan di luar negeri.
Jika benar, tentu persoalan ini amat serius. Pihak asing bisa menyalahgunakan data rahasia yang ada di server e-KTP untuk kepentingan mereka. Data perbankan, asuransi, bahkan hingga penerima program jaminan kesejahteraan masyarakat, seperti Kartu Indonesia Sehat, pun bisa diselewengkan.
Pejabat Kementerian Dalam Negeri belakangan meralat ucapan sang bos dengan mengatakan server penyimpan data berada di Jakarta dan Batam, Kepulauan Riau. Tapi tim dari Desk Keamanan dan Ketahanan Informasi Cyber Nasional di bawah Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan menemukan bahwa pemasok cip e-KTP itu berasal dari India dan si pemasok memiliki password terhadap seluruh data tersebut.
Temuan tim ini menunjukkan bahwa, meski server penyimpan data berada di Indonesia, bukan tidak mungkin terjadi penyalahgunaan atas data diri penduduk. Hal ini lantaran si pemasok bebas mengakses server dari luar negeri dengan dalih untuk kegiatan pemeliharaan. Munculnya KTP elektronik palsu di India dan Prancis baru-baru ini juga memperkuat dugaan itu. Si pemalsu berkebangsaan India dalam kasus itu diduga pernah ikut mengerjakan proyek e-KTP di Kementerian Dalam Negeri.
Dengan adanya temuan tersebut, wajar jika kemudian Menteri Dalam Negeri memutuskan untuk menghentikan sementara program KTP elektronik selama dua bulan. Pemerintah bahkan harus segera bergerak cepat mengaudit sistem keamanan data kependudukan. Tim ahli harus diterjunkan untuk memeriksa apakah vendor asing pemasok dan pemelihara server KTP elektronik itu pernah menyalin atau membocorkan database yang amat penting tersebut.
Kerahasiaan negara bagaimanapun harus dijamin. Pemerintah, dalam masa evaluasi program KTP elektronik yang pendek itu, mesti memperjelas duduk soal server dan kasus pemalsuan tersebut. Jangan sampai cita-cita memiliki sistem identitas tunggal yang amat bermanfaat bagi penataan administrasi kependudukan nasional justru berakhir amburadul.
Penerapan identitas tunggal melalui KTP elektronik jelas akan mengikis kecurangan seperti yang pernah dilakukan terpidana mafia pajak Gayus Tambunan: memiliki KTP ganda dan paspor palsu. Munculnya pemilih ganda atau fiktif dalam pemilihan umum juga bisa tereduksi. Setiap orang hanya akan memiliki satu seri nomor yang bisa digunakan untuk KTP, paspor, kartu jaminan sosial, surat izin mengemudi, rekening listrik dan bank, hingga nomor pokok wajib pajak.
Langkah moratorium dari pemerintah itu selayaknya juga direspons Komisi Pemberantasan Korupsi dengan mengintensifkan pengusutan kasus dugaan korupsi pada tender proyek senilai Rp 6 triliun yang diduga melibatkan anggota DPR dan kerabat pejabat negara tersebut. Kasus korupsi itulah yang sesungguhnya menjadi hulu dari pelbagai sengkarut program KTP elektronik selama ini. *