Inilah definisi dirinya yang ia nyatakan sendiri: "Seorang muslim, soleh, Islamis, pejuang revolusi yang radikal, fundamentalis, pro-Iran, sufi, dsb. seseorang yang ada di antara semua itu." Ia ikut dalam pertemuan-pertemuan agama, dalam demonstrasi anti-Israel dan anti-Amerika, mendengarkan diskusi panel, mendatangi toko buku Islam, dan di koridor universitasnya menyatakan, "Kamilah pelaku, pahlawan dari citra yang tumbuh dalam mimpi kami, yang dibangkitkan oleh revolusi Iran."
Anak muda itu, yang diberi nama Irfan (yang saya ketahui dari tulisan Nilüfer Göle dalam jurnal Dædalus nomor musim dingin tahun 2000), agaknya bukan orang yang sangat asing bagi kita. Mungkin iaseperti layaknya tokoh novel gagal yang cuma menarik untuk jadi sebuah tesisadalah sebuah contoh soal. Nilüfer Göle, guru besar sosiologi di Universitas Bogazici di Istanbul, memang tidak sedang membahas sebuah karya sastra. Dan tampaknya Mizraksis Ilmihal juga lebih sesuai untuk jadi sarana bagi sebuah risalah: bagaimana politik "Islamis" hidup di tepian modernitas.
Dalam novel Mehmet Efe ini, Irfan semula hanya memautkan diri dengan hal-hal besar: pembebasan, perubahan masyarakat secara revolusioner, keselamatan dunia dan akhirat, cita-cita tentang dunia yang ideal. Baginya, gairah untuk itu begitu penting, hingga kenikmatan-kenikmatan diri terasa mengganggu. Dirinya sendiri dalam ruang privat harus ditiadakan. Hubungan yang dekat jadi soal yang kecil. Mungkin mengacau. Tapi novel menjadi novel karena sesuatu berubah. Irfan ketemu seorang gadis.
Sudah bisa diduga: Irfan akan tertarik dan ia akan terganggu. Bukankah baginya "seorang muslim tidak jatuh cinta kepada seorang perempuan, melainkan kepada Allah"?
Tapi ada yang penting dalam Mizraksis Ilmihal: mahasiswa yang baru datang itu, juga seorang muslimah, bukan saja menggugat Irfan karena soal lelaki dan perempuan, tapi juga menjadi soal antara cita-cita besar dan diri yang "kecil". Ia datang ke kampus buat mendaftar. Hari itu para aktivis "Islamis" sedang memprotes larangan atas jilbab. Irfan mengajaknya untuk ikut dalam aksi boikot. Tapi gadis itu menolak. "Pernahkah kalian sebelumnya tanya pendapatku? Kalian laki-laki yang berpidato, dan kami cuma dekor, he?"
Kemudian kita tahu lebih banyak tentang gadis itu, dari catatan hariannya. Ia melihat para aktivis itu berlalu-lalang di koridor seakan-akan revolusi akan terjadi besok. Ada yang menyesalkan bahwa "laki-laki muslim terlalu pasif." Tiap orang dengan segera siap melakukan "penjantanan" atau maskulinisasi (erkekselesiyor). Mereka pun memberinya buku-bukuyang menyerukan agar ia jadi idealis, pejuang, gerilyawan, untuk mengubah segala hal dari dasar. Dan tiba-tiba ia seperti dituding: "Saya kecil. Saya lemah. Saya cewek. Saya cewek . CEWEK."
Tiba-tiba pula ia menemukan kembali identitasnya. Cewek, lemah, kenapa tidak? Dari sini, ia pun menampik peran kolektif yang disiapkan di pundaknya. Secara ironis, ketika ia kembali menemukan "kelemahannya", ia menemukan dirinya, dan juga sebuah daya. Dari sini ia mampu mengecam ambisi "Islamis" untuk mengubah dunia secara radikal.
Irfan juga berubah. Cinta dan soal-soal kecil bukan lagi mengacaunya. Justru sebaliknya: membebaskan. "Aku akan hidup bukan dengan permusuhanku, tapi dengan persahabatanku . Aku akan puas dengan hal-hal kecil. Aku tak sanggup menanggungkan hal-hal universal lagi."
Dengan itu, dunia tak hendak diubahnya lagi dengan akar yang dicabut. Persoalan yang belum dikemukakan Irfan adalah bagaimana dengan teman-temannya dulu, yang militan itu. Ketika Islam hidup di sebuah ruang yang plural, orang-orang "sekuler" memang sering mencemooh, seperti ketika mereka mencibir jilbab. Tapi haruskah Islam menampik dunia yang "sekuler" itu, yang plural itu, dengan mempertahankan batas yang gagah dan total? Bukankah hidup tak bisa mengelakkan hal-hal kecil, yang wajar tapi juga sering tak didugadan sebab itu batas yang total hanya garis imajiner yang datang karena ketakutan?
Di akhir novel, Irfan punya imajinasi lain: ia membelikan saputangan sutra buat si pacar, ia menikahinya, memasak bersama dengannya, membaca bersama . Yang dibangunnya akhirnya sebuah hidup yang bersahaja tapi berarti, bukan sebuah kanal besar untuk ke kesempurnaan, seperti Kanal Laut Putih yang dibangun Stalin, sebuah saluran untuk membuktikan bahwa alam bisa dikalahkan oleh idedan untuk itu ratusan ribu orang bisa dikorbankan.
Goenawan Mohamad