Keengganan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat segera memproses pemilihan satu pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi patut disesalkan. Dewan seharusnya segera memutuskan pengganti Wakil Ketua Busyro Muqqodas, yang masa kerjanya berakhir pada 10 Desember. Jika tenggat itu terlewati dan DPR belum memutuskan siapa pemimpin baru KPK, komisi antirasuah ini terancam tidak memiliki legitimasi.
Sebabnya, berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pimpinan Komisi berjumlah lima orang. Undang-undang itu juga tidak memungkinkan masa jabatan pimpinan diperpanjang sementara.
Saat ini, sudah ada dua calon pengganti, yaitu Roby Arya Brata, pejabat di Sekretariat Kabinet; dan Busyro Muqoddas, yang kembali mencalonkan diri. Keduanya merupakan hasil seleksi sebuah tim independen, dan telah diajukan Presiden Yudhoyono ke DPR sejak 16 Oktober lalu.
Berlarut-larutnya proses pemilihan terjadi karena DPR disibukkan oleh konflik antara kubu pendukung Prabowo dan pendukung Joko Widodo dalam memperebutkan kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan. Setelah kedua kubu berkompromi pun, komisi-komisi tidak bisa langsung bekerja. Sebab, Dewan harus menyelesaikan terlebih dulu revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3).
Anehnya, bukannya mendorong percepatan penyelesaian revisi undang-undang, Komisi III yang membidangi masalah hukum malah memunculkan wacana agar pemerintah menyeleksi ulang calon pimpinan KPK. Alasan mereka pun aneh, yaitu pemilihan calon dilakukan tidak transparan, sosialisasi kurang sehingga peserta seleksi tidak banyak, dan dilaksanakan oleh pemerintah sebelumnya sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Usul menggelar pemilihan ulang ini menunjukkan anggota Dewan tidak memahami isi Undang-Undang KPK, yang mensyaratkan pimpinan berjumlah lima orang. Seleksi ulang, jika dilakukan, tidak hanya menghamburkan biaya, tapi juga makan waktu. Akan perlu dua bulan sehingga hasilnya pun didapat setelah tenggat terlewati.
Baca Juga:
Manuver ulur waktu ini tak pelak menimbulkan dugaan bahwa anggota DPR merancang agenda tersembunyi, yaitu ingin menempatkan orang kepercayaan mereka di KPK. Atau, ini adalah upaya memasung Komisi agar tidak bisa bekerja dengan hanya empat komisioner.
Presiden Jokowi semestinya mencegah manuver itu dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) terkait dengan penggantian Busyro Muqoddas sebagai Wakil Ketua KPK. Upaya ini sah. Presiden Yudhoyono pun dulu pernah mengeluarkan perpu serupa pada 2009. Jelas ini bukan pilihan populer, karena bakal makin mempertajam friksi antara pemerintah dan parlemen.
Maka, cara terbaik adalah anggota Dewan harus menunjukkan kesungguhan dalam mendorong pemberantasan korupsi dengan mempercepat proses pemilihan dan penetapan anggota KPK. Komisi III tidak perlu menunggu sampai revisi undang-undang tentang DPR selesai. Meski tidak banyak waktu tersisa, Dewan bisa melakukan seleksi sebelum Busyro mengakhiri jabatannya agar tidak terjadi kekosongan yang menyebabkan lumpuhnya KPK.