TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Bagus Irawan, alumnus UIN Waisongo
Tak bisa dimungkiri, publik Indonesia dikepung propaganda radikalisme. Menurut lembaga riset e-Marketer,populasinetizen (warga pengguna Internet)Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014 (Tempo.co). Tahun lalu terdapat fenomena clash of netizen akibat efek pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Di samping itu, ada juga satu fenomena besar berupa radikalisasi dan khilafiah-isasi "digital". Agenda besar tersebut muncul seiring dengan berkembangnya fenomena "santri digital".
Santri digital di sini mengebiri definisi santri konvensional yang harus belajar dari keluhuran pesantren dan kiai. Mereka belajar kontennya secara otodidaktik dan digital di dunia maya. Secara derivatif, santri diambil dari term shastri yang bermakna orang-orang yang menuntut ilmu pengetahuan agama. Pada era global, konstruksi bahasa memunculkan istilah baru, santri digital, sebagai julukan bagi mereka yang belajar ilmu agama dari laman website atau konten digital lainnya.
Secara figuratif, santri digital terlahir dari dua wajah. Pertama, mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren atau berafiliasi dengan kehidupan santri. Rata-rata santri ini memiliki pandangan yang luas ihwal keagamaan dan keduniawian. Mereka tak akan serta-merta tergoda melakukan aksi teror atas nama agama. Kedua, mereka yang masih mualaf (baru masuk Islam), "Islam KTP", Islam abangan, dan mereka yang awam soal agama. Biasanya, kelompok inilah yang tergoda melancarkan aksi teror dengan legitimasi jihad yang salah kaprah. Dengan berbagai alasan, kebanyakan mereka terbelenggu dalam konten Islam satu arah yang selama ini dipropagandakan oleh kelompok Islam yang cenderung radikal dan kaku.
Faktanya, euforia kebebasan berpendapat menjadi sasaran empuk masuknya paham radikalisme itu dalam berbagai versinya. Bahkan, beberapa stasiun televisi pun memiliki tayangan khusus yang berbau radikal itu. Sebagaimana laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), selama 2014, setidaknya terdapat ratusan website berisi konten agama yang sangat keras dan menyesatkan.
Hal ini perlu menjadi catatan karena beredarnya tayangan dan konten agama yang akan menyebarkan paham radikalisme jumud di kalangan santri digital.Sudah saatnya penanggulangan terorisme dimulai dengan pendekatan digital. Yakni, mulai mengawasi situs-situs dan konten-konten digital yang cenderung berisi propaganda khilafiah dan radikalisme. Selain pemerintah, tugas untuk menghadirkan konten digital dan media sosial yang toleran juga menjadi tanggung jawab masyarakat, terutama kelompok santri yang toleran.
Bayangkan, pola pendekatan negara yang bisa dikatakan lamban harus menghadapi tantangan terorisme mutakhir yang digawangi oleh anak muda berusia 17 dan 30-an tahun yang bergerak sangat cepat, individualis, efisien, dan borderless (tanpa batas negara). Konstelasi hegemoni politik global, minimnya ruang partisipasi alternatif bagi kaum muda, serta cepatnya pertumbuhan dunia IT, terutama industri telepon pintar dan maraknya platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Youtube, mendorong lahirnya terorisme media sosial. Tren ini ditandai dengan munculnya generasi yang lebih khusyuk di media sosial ketimbang mendengarkan ceramah para pemuka agama yang bagi mereka tidak lagi memberi rasa kebaruan dan tidak menjawab tantangan dunia modern.