Tulus Abadi, Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau
Indonesia dikenal sebagai negara yang paling tinggi konsumsi rokoknya di dunia. Ironisnya, Indonesia juga sangat dikenal di dunia sebagai negara yang paling lemah dalam membuat regulasi pembatasan rokok. Kini, persoalan makin bertambah pelik manakala Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menimbang sebuah rancangan undang-undang (RUU) dalam sebuah Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, yakni RUU Pertembakauan.
Jika tak ada perlawanan berarti dari anggota DPR, RUU Pertembakauan akan melenggang menjadi RUU Prioritas yang akan dibahas dan disahkan pada masa sidang 2015. Jika RUU Pertembakauan benar-benar disahkan sebagai sebuah hukum positif, ini jelas-jelas tragedi bagi bangsa ini, khususnya bagi anak-anak, remaja, dan generasi muda.
Karena itu, minimal terdapat lima alasan untuk menolak RUU Pertembakauan ini. Pertama, RUU Pertembakauan diusung oleh industri rokok, khususnya industri rokok besar. Karena diusung oleh industri rokok, misinya jelas: meningkatkan produksi, memperluas pasaran dan promosi. Jadi, kini produksi rokok nasional yang telah mencapai 365 miliar batang per tahun, akan terus digenjot produksinya. Karena jumlah produksi meningkat, jumlah perokok pun ditargetkan meningkat.
Kedua, RUU Pertembakauan adalah "RUU gado-gado". Secara umum, isinya ingin mengatur tiga hal: pertanian, industri/perdagangan, dan kesehatan. Alamak, masalah kesehatan disorongkan sebuah RUU yang diinisiasi oleh industri yang seharusnya dibatasi produksinya? Logika apa yang bisa membenarkan hal ini? Pengaturan pertanian dalam RUU Pertembakauan adalah hal yang mubazir, karena masalah pertanian/perkebunan sudah diatur dengan sangat komprehensif dalam UU tentang Produk Pertanian dan UU tentang Perkebunan. Kurang apa lagi?
Ketiga, jika ingin benar-benar melindungi petani tembakau, salah satu cara yang paling jitu adalah stop impor daun tembakau. Saat ini, hampir 50 persen produksi rokok nasional ditopang oleh tembakau impor, terutama dari Cina. Impor daun tembakau inilah yang merontokkan eksistensi petani tembakau di Indonesia.
Keempat, jika berkaitan dengan masalah perlindungan buruh/tenaga kerja, yang sangat mendesak untuk diatur adalah adanya larangan/pembatasan ketat agar industri rokok besar tidak melakukan mekanisasi (mengganti buruh manusia dengan mesin). Inilah yang menyebabkan terjadinya PHK massal terhadap para buruh pabrik rokok, yang akhir-akhir ini banyak terjadi di perusahaan rokok besar. Padahal PT Philip Morris Internasional, saat mengakuisisi PT HM Sampoerna, berjanji untuk tidak melakukan mekanisasi. Kini janji itu banyak dilanggar, dan tak ada sanksi apa pun dari pemerintah.
Dan kelima, seperti prolog di awal, kini posisi Indonesia sangat dipermalukan oleh dunia internasional, karena belum meratifikasi/mengaksesi FCTC-WHO (Framework Convention on Tobacco Control). Dan belum pula punya regulasi yang setara dengan FCTC. Padahal problem konsumsi tembakau dengan berbagai kompleksitas dampaknya terus mengalami eskalasi (wabah). Eh, kok malah akan dibuat sebuah regulasi (RUU Pertembakauan) yang justru makin mengukuhkan eksistensi industri rokok. *