Sudah saatnya Presiden Joko Widodo berhenti bicara dan melakukan perubahan radikal di Kepolisian Republik Indonesia. Usulnya memasukkan Kepolisian ke suatu kementerian harus segera diwujudkan. Pengalihan fungsi koordinasi ini amat penting untuk membuat Kepolisian lebih profesional dan terawasi dengan baik.
Ide menempatkan Polri di bawah kementerian ini bukan lantaran Jokowi "gatal tangan" mengubah semua peninggalan rezim lama. Ide ini sudah lama digadang-gadang banyak kalangan. Mereka menyoroti wewenang Kepolisian yang kelewat besar. Berbeda dengan TNI yang berada di bawah Kementerian Pertahanan, Polri saat ini di bawah presiden. Jadi, satu-satunya yang dapat mengontrol Polri hanyalah lembaga kepresidenan.
Tak semestinya presiden, yang punya seabrek pekerjaan, masih ditambahi beban mengurusi Kepolisian. Sistem lama itu terbukti punya banyak cacat. Misalnya, Kepolisian tak terawasi dan kadang melenceng dari garis kebijakan presiden. Meletupnya pertikaian Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, beberapa tahun yang lalu, merupakan bukti betapa Kepolisian berjalan tanpa kontrol. Saat itu puluhan polisi mengepung gedung KPK sebagai balasan atas penangkapan bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, yang terbelit kasus korupsi simulator kemudi.
Karena itu, keinginan Presiden Jokowi memasukkan Polri ke kementerian patut diapresiasi. Ditinjau dari hukum ketatanegaraan pun, penempatan Polri di bawah kementerian itu dibolehkan.
Presiden Jokowi jangan ragu mengubah posisi Polri. Di banyak negara, kepolisian memang berada di bawah kementerian. Di sejumlah negara Eropa, misalnya, kepolisian berada di bawah koordinasi tiga menteri: Menteri Kehakiman, Menteri Pertahanan, dan Menteri Dalam Negeri. Beberapa negara Asia umumnya lebih memilih menempatkan kepolisian di bawah Menteri Dalam Negeri.
Tentu saja mewujudkan rencana ini tak seperti membalik telapak tangan. Sejumlah aturan mesti diamendemen, salah satunya Ketetapan MPR Nomor 7 Tahun 2000 Pasal 7 ayat 2, yang menyatakan Polri berada di bawah presiden.
Yang juga harus dipikirkan adalah reaksi dari tubuh Polri. Ada kemungkinan bakal timbul banyak penentangan. Alih-alih menyokong ide itu, Kepala Polri Jenderal Sutarman pun secara tersirat menentangnya. Dia meminta agar kepolisian tetap di bawah presiden. Alasannya, Indonesia menggunakan sistem presidensial dan Polri sebagai alat negara berfungsi menjaga keamanan negara.
Pernyataan Jenderal Sutarman itu tak bisa diiyakan begitu saja. Argumennya lemah. Polri tetap bisa menjaga keamanan negara meski di bawah sebuah kementerian. Bahkan kinerja lembaga penegak hukum itu bisa makin mengkilap bila ada kementerian yang mengontrol dan mengawasinya. Dalam konteks ini, rumah baru yang pas bagi Polri adalah di bawah Kementerian Dalam Negeri. Posisi baru Polri itu akan membuat lembaga ini lebih profesional dan mudah bekerja sama dengan segala lini pemerintahan, termasuk pemerintah daerah. [*]