Seruan menyajikan makanan lokal dalam kegiatan pemerintah merupakan langkah bagus. Kampanye mengkonsumsi makanan khas Indonesia penting dilakukan demi menolong petani. Tapi pemerintah jangan sampai memproteksi produksi dalam negeri secara membabi-buta karena hal itu justru akan merugikan masyarakat.
Kampanye makanan lokal itu diselipkan dalam Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2014 yang diterbitkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi. Surat ini sebetulnya menekankan pada efektivitas pengadaan barang dan efisiensi penggunaan listrik di kantor. Misalnya, ditekankan agar pengaturan penyejuk ruangan tak boleh di bawah 24 derajat Celsius demi menghemat energi.
Adapun soal penyajian makanan lokal hanya disinggung sedikit. Para pejabat diminta menghidangkan makanan tradisional yang sehat atau buah-buahan produksi dalam negeri ketika mengadakan rapat. Tujuannya, sesuai dengan surat edaran ini, untuk "mendorong produksi dalam negeri dan kedaulatan pangan". Tak hanya diedarkan kepada para menteri, surat ini juga dikirim kepada para kepala daerah.
Harus diakui, kampanye itu tak mudah dijalankan. Sebagian besar masyarakat kita sudah terbiasa mengkonsumsi makanan yang lebih lezat daripada ubi, singkong atau kue-kue tradisional. Akibatnya, seperti dalam pertemuan yang dilakukan sebuah instansi pemerintah baru-baru ini, makanan tradisional tidak ada yang menyentuh. Peserta tetap memilih makanan modern.
Hanya, bila kampanye itu dilakukan secara konsisten, mungkin bisa berhasil. Apalagi instansi pemerintah berani menyingkirkan sama sekali makanan modern dari daftar menu, sehingga makanan tradisional itu menjadi satu-satunya pilihan. Menu tradisional seperti ubi, singkong, talas, kacang, dan pisang rebus akan meningkat "harkat"-nya. Dengan demikian, para petani akan berlomba-lomba untuk menanam ubi dan buah-buahan karena permintaan masyarakat semakin besar.
Nah, tugas pemerintah selanjutnya tentu membantu petani meningkatkan produksinya, jika perlu dengan bantuan bibit dan pupuk. Sebab, tanpa kampanye makanan lokal pun, kebutuhan pangan akan terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Selama ini sebagian kebutuhan pangan kita juga masih harus mengimpor, seperti beras, jagung, kedelai, dan ubi jalar.
Mustahil mencapai "kedaulatan pangan seratus persen" akibat lahan yang semakin terbatas. Karena itu, pemerintah tidak perlu pula mengharamkan impor bila cara ini lebih menguntungkan masyarakat. Tentu dengan catatan, impor dilakukan secara transparan dan bukan dengan sistem kuota yang menimbulkan kolusi dan korupsi.
Adapun petani Indonesia bisa berkonsentrasi pada produk yang benar-benar bisa berkompetisi dengan produk negara lain dari segi harga maupun kualitas. Dengan cara ini, petani akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Masyarakat pun tetap bisa menikmati produk impor yang mungkin lebih murah. *