Sudah cukuplah korban berjatuhan akibat minuman keras oplosan. Dalam dua tahun terakhir, 155 nyawa melayang setelah menenggak minuman keras oplosan. Kasus terbesar terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, Januari lalu. Sebanyak 17 orang tewas setelah menenggak cukrik, sejenis arak Jawa yang dioplos dengan bensin, minuman ringan, lotion antinyamuk, dan spiritus. Kasus terbaru, 10 orang meninggal di Garut, Jawa Barat.
Minuman keras adalah minuman berkadar alkohol tinggi. Maka, ada aturan mengenai kadar yang dibolehkan. Bahkan bartender pun tak sembarangan mencampur air api itu. Mereka terlatih membuat minuman keras agar tetap nikmat ditenggak tanpa berisiko menghilangkan nyawa.
Ini berbeda dengan minuman keras oplosan. Pengoplos mencampur sesuka hatinya. Kadar alkohol minuman seperti cukrik atau arak digenjot lebih tinggi. Cukrik, misalnya, mengandung sekitar 65 persen alkohol. Tapi persoalannya bukan tingginya kadar alkohol, karena minuman keras merek ternama pun ada yang beralkohol 70 persen. Yang jadi masalah, agar murah, minuman oplosan dicampur dengan bahan lain yang berbahaya, seperti obat nyamuk dan bensin. Akibatnya fatal.
Pemerintah tak bisa membiarkan korban minuman oplosan terus berjatuhan. Tindakan tegas harus dilakukan sejak di hulu hingga ke hilir. Di hulu, harus diusut dari mana bahan minuman maut ini berasal. Besar kemungkinan, sebagian adalah selundupan. Minuman inilah yang diedarkan lalu dibeli pelanggan dan dioplos agar didapat efek alkohol tinggi dengan harga murah.
Penyidik Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memperkirakan minuman beralkohol masuk secara ilegal ke Indonesia dibekingi pegawai Bea dan Cukai. Para pemain ini adalah jaringan lama yang tersebar dari Riau hingga Jakarta. Salah satu indikasinya, penangkapan 24 truk pengangkut 163 ribu botol minuman keras di Sumatera Selatan hingga Merak pada 31 Oktober lalu.
Adapun di hilir, pemerintah harus memperketat peredaran minuman ini. Dulu, aturan tertinggi hanya Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Tapi aturan ini dicabut Mahkamah Agung pada Juni 2013. Sejak saat itu, peredaran minuman keras diatur masing-masing daerah. Masalahnya, belum semua pemerintah daerah mengeluarkan peraturan mengenainya.
Pemerintah harus segera memberi payung hukum yang kokoh untuk mengatur, misalnya dengan undang-undang. Aturan itu juga harus menindak keras pengedar dan pengoplos. Saat ini saja, para pengedar paling-paling hanya diseret ke sidang tindak pidana ringan dan dihukum denda sekadarnya.
Harus diingat, minuman keras bukan sekadar barang dagangan yang dipungut cukainya, melainkan termasuk jenis pangan, sama seperti makanan dan minuman lain. Ini artinya, dari pembuat hingga pengedar wajib menjamin produknya aman bagi manusia, sesuai dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sayangnya, undang-undang itu tidak mengatur peredarannya. Dalam hal ini, pemerintah wajib mengupayakan lahirnya undang-undang baru yang mengisi celah kosong ini, sehingga tak sembarang warung atau toko swalayan bisa menjualnya.