Dewan Perwakilan Rakyat mesti berhati-hati memilih anggota pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika bertujuan semakin memperkuat dan meningkatkan kinerja KPK, Roby Arya Brata-salah satu calon yang kini diseleksi di Senayan-bukanlah figur yang tepat untuk dipilih.
Terungkap dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi Hukum DPR bahwa pendapat Roby amat aneh. Pejabat Sekretariat Kabinet era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini tak setuju koruptor disebut bandit atau penjahat. Roby menganggap koruptor sebagai korban dari sistem politik dan pemerintahan. Ia juga mengatakan koruptor bisa berperilaku seperti setan, tapi ada juga yang baik seperti malaikat.
Seleksi itu untuk mengisi satu posisi komisioner KPK yang kini kosong, menyusul habisnya masa kerja Busyro Muqoddas. Tapi Busyro maju lagi sebagai calon, sehingga kini DPR mesti memilih Roby atau Busyro. Keputusan Komisi Hukum DPR akan diambil pada Januari tahun depan karena mereka keburu memasuki masa reses sebelum kelar menyeleksi pimpinan KPK.
Pendidikan Roby sebetulnya cukup tinggi. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu pernah belajar program magister public policy di University of Wellington, Selandia Baru. Ia juga mengambil program doktoral di Australian National University dan lulus pada 2001. Tapi komitmen Roby diragukan dalam menjaga KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi.
Sikap itu terlihat dari pendapat Roby soal rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ia tak berkeberatan bila rencana itu digulirkan lagi. Padahal revisi tersebut jelas akan membuka peluang untuk memperlemah wewenang KPK. Roby juga lebih setuju memperbesar upaya pencegahan ketimbang penindakan.
Bandingkan dengan sikap calon lain, Busyro Muqoddas, yang selama ini cukup tegas dalam memerangi korupsi dan mempertahankan wewenang KPK. Busyro sama sekali tidak memberi sinyal perlunya revisi UU No. 30/2002. Ia justru mengungkapkan bahwa kasus korupsi di Indonesia masih sangat besar dan sulit diberantas. Sudah banyak kasus korupsi yang dibongkar KPK, tapi belum ada tanda-tanda kejahatan ini surut.
Pandangan Busyro klop dengan skor indeks persepsi korupsi Indonesia 2014 yang dirilis pekan lalu. Indeks persepsi korupsi kita hanya naik 2 poin dari 32 menjadi 34. Menurut Transparency International Indonesia, korupsi di negeri ini sulit diberantas karena dibalut kepentingan politik. Hal ini berarti masih diperlukan tindakan tegas terhadap koruptor.
Sikap Roby yang menonjolkan pendekatan pencegahan dalam memberantas korupsi mungkin akan lebih disukai kalangan anggota DPR. Tapi politikus Senayan akan dituding bersikap terlalu lunak terhadap koruptor bila memilih Roby. Dewan sebaiknya memperhatikan kebutuhan KPK dalam memilih komisioner. Di tengah korupsi yang masih merajalela, lembaga ini masih perlu diperkuat oleh figur sekaliber Busyro.