POLISI semestinya mafhum bahwa, dengan alasan apa pun, tak dibenarkan melakukan kekerasan dalam penyidikan. Apalagi terhadap korban salah tangkap seperti Kuswanto, warga Kudus, Jawa Tengah, yang Senin lalu mengadukan kasusnya ke Markas Besar Kepolisian RI.
Argumentasi polisi, seperti diungkapkan juru bicara Kepolisian Daerah Jawa Tengah Komisaris Besar Liliek Darmanto, bahwa tindakan itu "cuma keteledoran belaka", sungguh tak bisa diterima akal sehat. Kuswanto ditangkap anggota Kepolisian Resor Kudus dengan tuduhan merampok toko es krim di kota itu. Lelaki tersebut kemudian digebuki oleh 13 orang dan dipaksa mengaku sebagai pelaku perampokan itu. Seorang polisi bahkan menyiramnya dengan bensin dan membakar lehernya.
Penyiksaan itu memang terjadi November dua tahun silam, tapi "perihnya" masih terasa hingga kini. Sumbangan pengobatan yang diberikan polisi juga tidak bisa membayar rasa keadilan yang dituntut Kuswanto. Apalagi dia tahu, dari 13 polisi yang menyiksanya, hanya satu orang yang dihukum.
Kasus ini terkuak setelah Kuswanto dan keluarganya melaporkan penyiksaan itu ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, sebelum akhirnya melapor lagi ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Sebelumnya, kasus ini sudah dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri, tapi tak tersentuh. Upaya Kuswanto dan keluarganya mencari keadilan sempat mentok. Ketika membawa kasus ini ke Jakarta, Kuswanto bahkan berulang kali menerima ancaman dari polisi yang tak ingin kasus ini diungkit-ungkit.
Sangat disayangkan, Polri tidak serius mengusut kasus salah tangkap ini. Mereka hanya menghukum ringan seorang pelaku, yakni hanya dianggap menyalahi kode etik. Vonisnya pun amat mengiris rasa keadilan, yakni cuma mutasi dan kurungan 21 hari bagi polisi penganiaya.
Tragedi Kuswanto menambah panjang daftar korban kekerasan polisi. Kontras mencatat ada 108 kasus kekerasan polisi pada 2014. Mayoritas penyiksaan terjadi di daerah, saat polisi menangkap dengan seenak perutnya dan memaksa korban mengaku sebagai pelaku tindak pidana.
Banyaknya kasus korban salah tangkap ini seharusnya menampar polisi untuk melakukan evaluasi ketat terhadap prosedur penyidikan, apakah polisi-polisi tersebut menaati prosedur yang ditetapkan.
Sudah terlalu banyak korban yang jatuh akibat ketidakbecusan polisi melakukan penyidikan. Publik masih ingat bagaimana kakak-adik Budri dan Faisal tewas di kamar sel setelah diperiksa polisi di Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat, karena disangka mencuri kotak amal. Juga ada kasus Aslin Zalim, yang ditemukan tewas setelah direndam di kantor polisi Kota Bau-bau, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, hingga dinihari.
Pelaku kekerasan terhadap Kuswanto, Budri dan Faisal, serta Aslin Zalim seharusnya tak cuma diadili dengan sidang etik. Para penganiaya itu seharusnya diseret ke meja hijau dengan tuntutan pidana dan dijatuhi vonis berat. Bukankah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara digariskan bahwa kepolisian dalam bertugas wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia?
Jika tak ingin citranya kian buruk, Markas Besar Kepolisian semestinya legawa menyelesaikan kasus-kasus kekerasan polisi itu dengan tuntutan pidana. Buat apa mati-matian membela noda setitik yang bisa merusak pamor kepolisian secara keseluruhan. Yang juga tak kalah penting adalah memulihkan kondisi korban dengan memberikan ganti rugi yang layak. (*)