Entah apa motif Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi menggandeng Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengawasi para pegawai. Kalau tujuannya meningkatkan pengawasan, penggunaan aparat BIN berlebihan. Lagi pula, tiap kementerian sudah punya lembaga inspektorat. Kalaupun lembaga ini tidak efektif, perbaikilah lembaganya, bukan mengajak telik sandi masuk ke sistem birokrasi.
Jika alasan mengajak intelijen masuk kantor adalah demi meningkatkan produktivitas, ini lebih tak masuk akal. Produktivitas tak bisa dipacu dengan memata-matai pegawai negeri. Metode terbaik meningkatkan produktivitas adalah memperbaiki sistem remunerasi, meningkatkan kesejahteraan, dan menerapkan iklim meritokrasi dengan ketat.
Rencana pelibatan BIN untuk mengawasi pegawai negeri itu dikemukakan Yuddy pekan lalu. Menurut dia, kementeriannya perlu mengembalikan kewibawaan pegawai negeri dengan meningkatkan disiplin dan tanggung jawab ke publik. Ia berharap perjanjian kerja sama BIN dengan kementeriannya bisa segera ditandatangani.
Menteri Yuddy benar ketika menyatakan bahwa kinerja pegawai negeri kita, yang sekarang sudah berjumlah 4,5 juta orang, belum memuaskan. Masih banyak keluhan ihwal betapa buruknya pelayanan publik oleh para abdi negara itu. Lembaga Political and Economic Risk Consultancy, yang berbasis di Hong Kong, pernah mengungkap data bahwa indeks kinerja birokrasi Indonesia masih berada di angka 8,0 dari skala 0 terbaik dan 10 terburuk. Ini di bawah prestasi negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, yang berkisar di antara 6,5 dan 7,5.
Banyak penyebab buruknya kinerja pegawai negeri. Proses rekrutmen yang longgar, gaji yang rendah, dan pengawasan yang tidak ketat adalah beberapa penyebab. Namun menyelesaikan masalah produktivitas dengan menekankan pada pengawasan, apalagi bermetode memata-matai memakai aparat BIN, jelas bukan solusi yang tepat.
Metode pengawasan pegawai negeri sebetulnya sudah mulai dibenahi dengan mengubah sistem penilaian kinerja. Dulu, kinerja pegawai diawasi dengan konsep yang disebut Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan. Konsep ini sangat lemah, karena unsur subyektivitas atasan terlalu besar. Kinerja pegawai juga tak terukur langsung. Yang lebih dilihat adalah faktor loyalitas, bukan hasil kerjanya.
Sejak Januari 2014, konsep itu diubah menjadi Sasaran Kerja Pegawai. Konsep ini menekankan bobot kuantitas dan kualitas capaian kerja sebagai penilaian utama, bukan lagi loyalitas. Seperti di perusahaan swasta, ukuran prestasi dilihat berdasarkan indeks kinerja kunci (key performance index/KPI), yaitu pencapaian target sesuai dengan cakupan tugasnya.
Semestinya Menteri Yuddy menyempurnakan konsep ini. Menanam intel di kalangan pegawai bukannya membuat mereka lebih produktif. Salah-salah, pegawai tak hanya ketakutan, tapi juga saling mencurigai koleganya sebagai mata-mata. Iklim begini hanya terjadi di model pemerintahan komunis.